Kerja itu bisa rupa-rupa warnanya. Bergantung mau dan kesempatan. Model kerja kantoran atau jadi pejabat itu termasuk katagori banyak peminat. Tapi kursinya terbatas. Sohibul hikayat menyebutkan ada orang untuk mendapatkan jabatan harus sikut sana-sikut sini. Tak lupa juga memasang lidah panjang agar bisa menjilat atasan.
Jika kurang bersih jilatannya, bisa dibawakan upeti. Bab upeti ini, entah karena masuk persyaratan lamaran, atau memang jadi pelicin. Seolah untuk dapat jabatan itu, butuh pelumas. Apapun caranya, yang penting dapat jabatan. Ada juga yang lurus-lurus garis tangan, dapat juga jadi pejabat. Semisal garis tangan ini, bisa dihitung dengan jari.
Tak ada orang kerja yang tanpa pamrih. Hanya betul-betul ingin membantu yang punya kerjaan. Macam sinar matari yang bersinar tiap hari, tak pernah minta uang jasa kepada manusia. Tentunya kerja apa atau kepada siapa, salah satu motivnya adalah mendapat upah. Urusan perolehan ini, berkaitan dengan masa depan generasi penerus dan kelangsungan kehidupan di rumah. Soal imbalan, berbanding lurus dengan keahlian dan jenis pekerjaan.
Konon ada juga tempat kerjaan tak berkaitan dengan jenis dan keahlian, tapi menentukan pendapatan, di luar gaji resmi. Orang menyebutnya, “tempat basah” -tempat yang memberikan insentif tak resmi. Macam pancuran air dari gunung yang terus mengucur dan membasahi pemandian dari batu. Nah yang terakhir ini sering kali menjadi godaan bagi yang sudah punya kursi kuasa-pejabat. Rengkuhan penghasilan tak resmi ini, menjadikan orang berubah menjadi tikus berdasi. Riwayat menyebutkan tak hanya satu, tikusnya.
Bijak bestari mengatakan, kerja itu adalah eksistensi diri. Kaum agamawan mendakwah, kerja adalah ibadah. Calvinisian bahkan mendakukan, kerja adalah perwujudan tertinggi atau panggilan sebagai manusia terpilih. Buka saja bukunya Max Weber, Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus yang ditulis tahun 1905. Sabdanya orang Jerman ini, Etika Protestan melahirkan semangat kapitalisme dengan pengumpulan kekayaan untuk investasi dan menguasai segala, hingga ke ampas-ampasnya.
Tak hanya melahirkan oligarkhi, kapitalisme melahirkan manusia materialis-hedonis. Manusia yang hidupnya dari hari ke hari hanya untuk bekerja mencari uang. Dalam pikirannya bagaimana menumpuk harta, memenuhi kesenangan ragawi dan sahwat. Hanya itu, tidak berubah, dan tak bermakna.
Manusia materialis biasanya mengalami kekeringan bathin. Sebab yang dikejar adalah kepuasan materi, kekayaan dan kesuksesan. Tak peduli cara mencapainya. Nurani manusia seperti ini, bebal terhadap rasa yang lembut, penuh kasih-sayang, ramah dan ceria. Macam orang sakit gigi, yang tak bisa melihat orang lain senang, tertawa terbahak-bahak.
Maka kiranya, perlu juga orang-orang kerja kantoran atau profesi apapun, bekerja pro bono -kerja professional untuk kebaikan publik tanpa diupah. Kerja pro bono publico, menjadi salah satu obat mujarab untuk menuntun manusia meterislis punya nurani.
Menurut hikayat, pro bono itu sudah ada sejak jaman Yunani. Pro bono awalnya dilakukan oleh kaum advokat, untuk memberikan nasihat hukum bagi mereka yang tidak mampu menyewa pengacara.
Seperti juga pohon mangga, pro bono juga bisa dicangkok oleh profesi lain. Profesi apapun, birokrat, politisi, calon politisi, dan semua yang berkenan, bisa melakukan kerja pro bono.
Kalau perlu, dimaktubkan dalam regulasi. Seperti halnya Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan, ““Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.
Di UU Advokat, walau dasarnya kesukarelaan, pro bono terlembagakan. Bagaikan baju seragam para karyawan pabrik, yang wajib dipakai pada hari-hari tertentu, baik suka-suka maupun terpaksa. Pro bono pun demikian, diharuskan untuk semua pegawai dan setiap profesi.
Alangkah baiknya, soal pro bono ini terlembagakan secara massif dalam regulasi di semua institusi dan profesi. Soal lama dan macam-macamnya, bisa diobrolkan sambil minum kopi Gayo, Toraja, Lampung atau teh. Tinggal pilih secara sukarela. Seperti pro bono. (Kang Marbawi, 040125)