Opini

Pojokan 208: Easy Money

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Ah, gampang benar mencari pekerjaan bagi anggota dewan yang terhormat. Setelah mendapat gaji fantastis, mereka pun bisa melamar menjadi peserta judi online. Mencari peruntungan dari judi online ditengah rapat dewan, membahas nasib dan perut rakyat. Toh sumber untuk berjudi dari uang rakyat juga.

Konon kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, 1000-an anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR-DPRD) beserta sekretariat jenderalnya terlibat judi online.

Utopi hadiah kemenangan yang ditawarkan bandar judi, bisa 10 kali lipat bahkan lebih dari modal yang dipasang. Kalau dapat kan enak, easy money. Tanpa kerja keras, cukup utak atik dan sentuh layar, bisa dapat cuan melimpah. Itu rasa kompulsif -dorongan penasaran dan mimpi kosong, para penjudi. Hormon Dopamine pada manusialah yang membuat asyik dalam bermain judi. Hormon Dopamin juga disebut happy hormone. 

Wabah judi online tak hanya merasuki anggota dewan yang terhormat. Rakyat yang jelata bin cacah kuricak pun, tergiur. Sabda Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto menyebut empat (4) juta orang Indonesia tak henti membuntuti judi online. 

Mirisnya, dari 4 juta orang itu, ada 2 % penguntit permainan spekulasi online dengan usia di bawah 10 tahun (80 ribu pelaku). Pengekor peringkat di atasanya, di duduki usia 10-20 tahun ada 11% (440 ribu pelaku). Level berikutnya usia 21-30 tahun 13% (520 ribu pelaku). Berikutnya di pegang usia 31-50 tahun 40% (1,64 juta pelaku), dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta pelaku). Data demografi ini mejambret 80 % dari jumlah pemain judi on line dari kalangan menengah ke bawah. Sisanya bisa jadi anggota dewan yang terhormat termasuk kelas menengah atas.

Walau taruhannya mulai Rp 10 ribu hingga Rp 100 ribu, total agregat transaksi dari kalangan menengah ke bawah: masyarakat umum seperti ibu rumah tangga, pelajar, pegawai golongan rendah, dan pekerja lepas, menyundul angka Rp 40 miliar yang dikeluarkan untuk judi online.

Bak pemain sepak bola di liga Inggris, Spanyol, Prancis, Jerman, atau lainnya, game pertaruhan online juga melibatkan pemain antar negara. Ada agen dan pemain serta pemodal besar. Baik dalam dan luar.  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi judi online mencapai lebih dari Rp 600 triliun pada kuartal pertama tahun 2024. Angkanya mendekati transfer APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)  ke daerah, sebesar Rp857,6 triliun. 

Seperempat dari hasil judi online itu mengalir ke luar negeri, dengan tujuan di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Filipina, dan Kamboja. Wow… Pemain dalam negeri besar bingit untungnya ya.

Hingga, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir hampir 2 juta akun judi online per Mei 2024. Upaya serupa juga dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan memblokir 4.921 rekening bank terkait judi online sepanjang tahun 2024.

Pantas kemudian, Pusat Data Nasional (PDN) milik Kominfo diserang peretas dan minta tebusan $8 juta setara Rp 131 miliar. Baru oleh peretas judi, kita tak berdaya. Sebab serangan sistem sosial budaya, ekonomi, dan politik sudah lama terjadi. Dan kita tak banyak yang sadar. 

Disegala peradaban pun sudah ada judi. Dengan melempar tulang belulang atau sesuatu yang dianggap bertuah untuk mencari peruntungan dan nasib.  Adu nasib online ini metamorphosis dari judi primitif pun judi Poskas (Pekan Olangraga dan Ketangkasan) tahun 1980-an jaman Orde Baru yang dulu dilegalkan. 

Hingga sang Raja Dangdut Rhoma Irama menyentilkan lagu “Judi” tahun 1987.  Katanya, judi meracuni kehidupan dan keimanan. Kompulsif, membuat orang malas dibuai harapan. Yang senang jadi sengsara. Hingga suami dibakar istri gara-gara suami gila judi on line.

Memanfaatkan rasa kompulsif FOMO (Fear of Missing Out – perasaan takut ketinggalan) melalui iming-iming easy money, dan hormon Dopamin dari rakyat jelata. Juga anggota dewan. Bisnis ini menghasilkan hepeng yang besar. Juga kerusakan moral dan ekonomi parah.

Gilanya, kita tak pernah sadar dan mau untuk jadi penyintas.  Penyintas dari serangan sosial-budaya dan peretasan. Dan aparat pun sudah tahu lah, siapa pemain dalam dan luarnya. Bisa jadi ada backingnya. Entah siapa. Sudah mafhum. (Kang Marbawi, 290624) 

Tag :

Berita Terkait