Opini

Merdeka 79 Tahun: Sekadar Menyambut Hari atau Tantangan Nyata Menuju Cita-Cita Bangsa?

Dimas Taufiqur Rahman
Dimas Taufiqur Rahman

Oleh Dimas Taufiqur Rahman, Kader Kader HMI Komisariat Tarbiyah STAI Muttaqien Cabang Purwakarta

KEMERDEKAAN yang telah diraih dengan berbagai perjuangan dan dapat dirasakan selama 79 tahun memberikan kita kesempatan untuk merenungkan perjalanan panjang yang telah dilalui bangsa ini. 
Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan kemerdekaan, apalagi kemerdekaan yang kita rasakan dibutuhkan pengorbanan keringat dan darah para pejuang bangsa. 
Tanggal 17 Agustus 2024 telah diukir selama 79 tahun, bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945, sejak proklamasi kemerdekaan dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 atau kini dikenal sebagai Jalan Proklamasi, bahwa, "Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia...".
Kemerdekaan bukanlah titik akhir dari suatu perjuangan, melainkan tonggak awal atau pintu menuju awal yang baru, awal perjalanan menuju cita-cita besar yang kita inginkan.
Sebagaimana cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal itu, tentu bukan hanya menjadi perjuangan leluhur kita, bukan hanya kakek atau nenek kita, bukan hanya ayah ibu kita, tapi perjuangan yang harus dilakukan oleh kita semua.
Kalimat adil dan makmur yang menjadi cita-cita kita, memang indah negara namun terkesan seperti utopia. Bagaimana tidak? Utopia, menurut Michael Shermer, lahir dari kerinduan seseorang akan terciptanya sebuah masyarakat paripurna. Dari kerinduan tersebut menjadikan suatu ide yang menginspirasi banyak orang untuk mewujudkannya sedikit demi sedikit.
Seperti yang kita ketahui, telah terjadi banyak sekali peristiwa-peristiwa selama 79 tahun ini. Terjadinya kasus-kasus ketidakadilan, semakin jauhnya ketimpangan sosial, dan bahkan bukan hal yang tidak mungkin lagi kita semakin jauh dengan cita-cita awal, maka dari itu mari refleksikan dan renungkan sejenak.
Belum lama kita dengar berita kontroversi mengenai larangan memakai jilbab oleh Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), di mana hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan terhadap kepercayaan dari tiap-tiap pemeluknya. Terlepas dari berbagai tafsiran mengenai kontroversi tersebut, hal yang harus ditegaskan bahwa kepercayaan tidak boleh dipaksakan atau ditekan oleh orang lain. 
Kemudian ada juga peristiwa yang dilakukan oleh para anak pejabat yang terlilit hukum, dimana banyak putusan-putusan yang memberatkan bahkan tidak masuk akal bagi para korban. Dikatakan res judicata pro veritate habetur bahwa setiap keputusan hakim harus dianggap benar. Jika keputusan hakim tidak dianggap benar (meskipun hanya untuk sementara atau sesaat hingga keputusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap), ke mana lagi para pencari keadilan bisa berharap?
Berdasar kepada konstitusi negara yaitu UUD 1945, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak yang harus diperjuangkan dan dilindungi oleh semua bangsa. Kemerdekaan ini meliputi kebebasan yang dalam hal ini bukan hanya aspek politik saja, melainkan juga aspek ekonomi, sosial, budaya, serta hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan luar (asing).
Salah satu bentuk kemerdekaan yang dijamin oleh Konstitusi adalah hak untuk berserikat dan berkumpul, serta menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD 1945). Namun, menurut indeks HAM 2023 yang dirilis oleh Setara Institute, skor rata-rata untuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia menurun sebesar 0,1 poin dari tahun 2022. 
Skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat bahkan tercatat sangat rendah (1,3 poin) dibandingkan indikator lainnya. Hal ini juga tercermin dalam Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2023 yang dirilis oleh Dewan Pers, di mana IKP 2023 adalah 71,57 (kategori "cukup bebas"), turun 6,3 poin dari tahun sebelumnya.
Kebebasan adalah hak-hak yang sudah dan harus didapatkan tanpa mempedulikan golongan, ras, suku atau budaya. Maka jelaslah sudah bahwa menyuarakan pendapat harus dibuka sebebas-bebasnya, tidak ada tindakan intervensi atau bahkan represi, sudah semestinya tidak ada rasa khawatir, gelisah ataupun takut. 
Kemerdekaan bukan hanya bentuk keberanian dalam melawan penjajah, tetapi juga keberanian dalam bermimpi, keberanian dalam bersuara, keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan untuk kehidupan yang lebih baik. Kita adalah manusia, bangsa yang merdeka maka sudah seharusnya merdeka pula rakyatnya.
Presiden Joko Widodo pada 2019 bersama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia meresmikan Visi Indonesia Emas 2045, di mana empat pilarnya yaitu :
1. Pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pembangunan ekonomi berkelanjutan.
3. Pemerataan pembangunan.
4. Pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan.
Program-program yang sudah dan akan dijalankan, harus saling melengkapi, membangun, serta mengukuhkan apa yang sudah dituai para pemimpin bangsa sekaligus para pejuang sebelumnya. Peranan rakyat juga sangat penting, segala program juga kebijakan harus berpihak pada rakyat, berpihak pada masyarakat. 
Sering kita dengar frasa latin "Vox populi, vox Dei" (suara rakyat adalah suara Tuhan), bahwa aspirasi atau kehendak rakyat dalam sistem pemerintahan sangat penting, terlebih dalam sistem pemerintahan demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Menurut hasil sensus penduduk yang dilakukan (10 tahun sekali) dan data terakhir pada 2020 menunjukan, Generasi Z yang lahir antara 1997 hingga 2012 mendominasi dengan jumlah sekitar 74,93 juta jiwa, atau 27,94 persen populasi, di mana menunjukan bahwa ada bonus demografi untuk potensi besar kemajuan dan perubahan di masa depan. 
Selain itu, ada pula di urutan kedua terdapat Generasi Milenial yang lahir antara 1981 hingga 1996 dengan jumlah sekitar 69,38 juta jiwa, yang mewakili 25,87 persen dari populasi. Generasi X, lahir antara 1965 hingga 1980, mengikuti dengan jumlah sekitar 58,65 juta jiwa. 
Sementara itu, Baby Boomer, yang lahir antara 1946 hingga 1964, memiliki jumlah sekitar 31,01 juta jiwa. Dan terakhir Post Generasi Z dan Pre-Boomer masing-masing memiliki jumlah sekitar 29,17 juta jiwa dan 5,03 juta jiwa.  
Transisi peralihan kepemimpinan nanti pada 20 Oktober 2024 akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Tantangan yang dihadapkan bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebuah hal yang harus dihadapi. 
Masih terjadinya ketimpangan sosial dan ekonomi antara daerah maju dengan daerah tertiggal masih signifikan. Kemiskinan dan pengangguran masih merajalela, walaupun berdasarkan BPS periode Februari 2023 - Februari 2024 menyebutkan bahwa penduduk usia kerja 214 juta orang dengan angkatan kerja yang berjumlah 149,38 juta orang, akan tetapi masih terdapat pengangguran berjumlah 7,20 juta orang, yang harus terus ditekan sehingga berkurang terus menerus. 
Selain itu, tantangan geopolitik global serta keamanan negara dari konflik dan terorisme, dan tentunya krisis finansial maupun pangan harus segera dilakukan tindakan preventif.  Bukan hanya butuh waktu saja, akan tetapi perihal ketahanan finansial, kekuatan politik dalam menghadapi panasnya geopolitik internasional, serta sumber daya yang optimal dari segala lini.
Visi Indonesia Emas 2045 harus dicapai dengan sinergitas seluruh pihak, sehingga tidak terjadi yang namanya Indonesia (C)emas 2045. Semoga kuat, semoga saling menguat, dan semoga Tuhan menguatkan.(*)

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua