Opini

Pojokan 226

Pojokan 226

Mana ada di kolong langit ini, seorang menteri yang rumahnya menjadi tempat bermain air hujan yang berlompatan berebut masuk ke lubang-lubang atap rumahnya. Ketika sesampai di lantai semen, menggenang memamerkan beningnya yang melebar ke mana-mana, karena tak ditampung.

Membuat empunya rumah, harus menjambret beberapa ember, baskom yang sedang tertidur nyenyak di rak, untuk menemani derasnya air hujan yang tak tahu malu bertamu ke rumah sang menteri.

Lubang kecil di atap yang terdampar di sela-sela genteng, karena sang empunya rumah tak sempat menambal. Walau bukan untuk keluar masuk manusia, lubang itu bermanfaat untuk masuknya kucing, angin dan air hujan.

Tak hanya itu, Menara Eiffeel pun kalah ajaib dengan orang langka ini.  Tak pernah ada di dunia bahkan di dunia lain, rumah menteri yang ditalak oleh jawatan listrik, gara-gara telat membayar tagihan listrik.

Hingga rumahnya menjadi gelap gulita dikala malam, hanya diterangi minyak tanah. Bisa dibayangkan, tak kala lompatan air hujan yang tak sopan menerabas masuk rumah gelap menteri, padahal sang empunya rumah adalah Menteri Pekerjaan Umum (PU) dan Tenaga Listrik.  Ajaib sekali!

Tak kalah ajaib, jika dibandingkan dengan jabatan dan pekerjaannya sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, sang empunya rumah punya karya monumental.

Dibawah pengawasannya, proyek raksasa seperti: gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jembatan Semanggi, waduk Jatiluhur, bandara Ngurah Rai dan jembatan Musi Palembang, hingga saat ini tetap menjulang, kukuh, kokoh, teguh tak lekang oleh waktu dan musim.

Tak jarang, pak menteri ini jalan kaki berpuluh kilo untuk melakukan inspeksi proyek yang sedang dikerjakan kementeriannya. Tak satupun fasilitas negera, digunakan.

Dia adalah Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum yang menjabat selama empat kali  sejak tahun (1965_1978). Menteri era Soekarno dan Soeharto.

Jika disandingkan dengan orang zaman sekarang, bak bumi langit. Sutami adalah teladan etik. Seperti halnya, Soekarno, Mohammad Hatta, Hoegeng, dan lainnya.

Yang memilih untuk hidup berhias etika dan moral, tanpa silau dengan jabatan yang disandang. Mereka adalah pemimpin yang menjunjung tinggi kualitas diri dan keteladanan etika yang terefleksikan dalam kebijakan publik.

Mereka tak terkena sindrom fenomena elite intransigence (kebebalan kaum elit), yaitu sikap bebal kaum elit penguasa terhadap nilai kepantasan. Bebal nurani karena  “mentalitas dilayani”, tak punya rasa malu karena  “terlalu percaya diri atas kuasa yang dimiliki” dan gemar pamer harta kekayaan (flexing).

Sehingga mereka tak takut the court of public opinion atau ‘pengadilan opini publik’, yang semakin cerdas, kritis dan muak atas kemunafikan kaum elit yang tidak berkesudahan.  Dan masyarakatpun terjangkiti penyakit bebal nurani ini.

Fenomena ini melahirkan penguasa dan tatanan masyarakatnya yang mengalami ethical deficit (defisit etika). Apapun yang melekat pada tubuhnya, pun yang dikerjakannya hanya untuk menunjukkan pesan, “Aku ini adalah....”.

Tak peduli yang dikenakan atau perilaku itu membawa pesan ketakpantasan, ketaklayakan dan tak beretika. MC. Luhan menyebut apa yang melekat itu (simbol dan perilaku) adalah "medium is the message" , media penyampai pesan bagi para penyelenggara negara, pun masyarakat adalah pesan  itu sendiri.

In a democracy, people get the governments they deserve”  atau dalam istilah lain “pada negara demokrasi, pemimpin merupakan cermin dari masyarakat yang memilihnya”. Sulit mencari Sutami, Hatta, Hoegeng di jaman sekarang. (Kang Marbawi, 051124)

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua