Oleh: Asep Mauludin,
Dwi Arisma Wahyudi
Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia
Epistemologi kebajikan lahir dari kebutuhan untuk menjelaskan apa yang benar-benar membuat seseorang mengetahui sesuatu. Dalam filsafat tradisional, pengetahuan seringkali didefinisikan sebagai "kepercayaan sejati yang dibenarkan" (justified true belief). Namun, definisi ini menghadapi tantangan serius, terutama melalui kasus Gettier, yang menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan benar yang dibenarkan tanpa benar-benar mengetahui.
Epistemologi kebajikan memandang pengetahuan sebagai keberhasilan kognitif, yaitu keberhasilan yang muncul dari kemampuan dan kebajikan epistemik seseorang. Perspektif ini menawarkan alternatif bagi teori-teori tradisional seperti reliabilisme, yang fokus pada keandalan proses, tetapi sering mengabaikan kontribusi aktif individu.
Keberhasilan kognitif adalah inti dari epistemologi kebajikan. Dalam pandangan ini, seseorang dianggap memiliki pengetahuan hanya jika keyakinannya mencerminkan kemampuan kognitif atau kebajikan epistemiknya. Ini berarti bahwa hasil tersebut tidak boleh bergantung pada keberuntungan semata. Sebagai contoh, membentuk keyakinan tentang cuaca melalui lemparan koin, meskipun kebetulan benar, tidak mencerminkan keberhasilan kognitif. Sebaliknya, prediksi yang didasarkan pada data ilmiah dan analisis kritis menunjukkan bahwa individu menggunakan kemampuan intelektualnya secara efektif.
Konsep keberhasilan kognitif juga menggambarkan hubungan antara individu dan kebenaran. Pengetahuan bukan hanya tentang "menemukan" kebenaran tetapi "menghasilkan" keyakinan yang benar melalui cara yang mencerminkan keahlian atau kebajikan.
Reliabilisme sebagai salah satu pendekatan epistemologi, berpendapat bahwa pengetahuan adalah keyakinan sejati yang diperoleh melalui cara yang andal. Keandalan ini merujuk pada probabilitas tinggi bahwa metode yang digunakan akan menghasilkan keyakinan yang benar.
Contoh sederhana reliabilisme adalah prediksi cuaca berdasarkan laporan meteorologi yang terpercaya. Dalam kasus ini, laporan meteorologi dianggap sebagai proses yang andal karena biasanya memberikan informasi yang akurat. Reliabilisme menekankan proses eksternal, sehingga tidak memerlukan individu untuk sepenuhnya memahami bagaimana metode tersebut bekerja. Namun, reliabilisme menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah bagaimana membedakan proses andal yang benar-benar mencerminkan kemampuan individu dari keberuntungan yang kebetulan sesuai dengan kebenaran.
Kasus Gettier menjadi kritik mendalam terhadap reliabilisme sederhana. Kasus ini menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki keyakinan sejati yang diperoleh melalui metode yang tampaknya andal tetapi tetap tidak memiliki pengetahuan.
Misalnya, termometer yang rusak namun kebetulan menunjukkan suhu yang benar setiap kali digunakan. Meskipun keyakinan yang dihasilkan tampaknya didasarkan pada metode yang andal, keandalan tersebut bersifat kebetulan, bukan hasil dari proses yang benar-benar mencerminkan kemampuan epistemik individu. Kasus ini menyoroti bahwa reliabilisme sederhana gagal menangkap elemen penting dari pengetahuan sejati, yaitu keterlibatan aktif dari individu dalam memastikan keandalan proses tersebut.
Epistemologi kebajikan muncul sebagai solusi untuk mengatasi kelemahan reliabilisme. Pendekatan ini menekankan bahwa pengetahuan sejati melibatkan penggunaan kebajikan epistemik, seperti kehati-hatian, rasa ingin tahu, dan ketelitian. Kebajikan ini membantu individu membentuk keyakinan yang benar dengan cara yang dapat diandalkan.
Misalnya, membaca termometer yang berfungsi tanpa adanya manipulasi eksternal mencerminkan penggunaan kemampuan kognitif yang andal. Sebaliknya, menggunakan termometer rusak yang kebetulan benar tidak mencerminkan kebajikan epistemik, karena hasil tersebut lebih bergantung pada keberuntungan daripada kemampuan individu.
Epistemologi kebajikan juga memberikan perhatian khusus pada bagaimana individu mengembangkan kebajikan ini melalui latihan dan pengalaman. Dengan demikian, ia mengintegrasikan keandalan dengan tanggung jawab epistemik.
Selain ada epistemologi kebajikan, terdapat sesuatu yang benar tentang ide reabilis bahwa pengetahuan harus diperoleh berdasarkan proses yang cenderung menuju kebenaran. Pengetahuan tidak terbentuk melalui suatu kebetulan saja dimana terjadi pada kasus Gettier. Layaknya seorang pemanah, ia memiliki keterampilan dalam membidik target panahannya. Proses untuk membidik target secara tepat membutuhkan proses yang panjang sehingga berhasil membidiknya. Disamping itu, ia juga mempelajari keadaan sekitar bahwa tidak ada yang menghalanginya untuk membidik target secara tepat. Oleh karena itu, suatu keterampilan yang handal tidak diperoleh secara kebetulan tetapi melalui sebuah proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran supaya mendapatkan hasil yang maksimal.
Proses memperoleh pengetahuan harus didasari dengan kebenaran dan kepercayaan. Kembali pada kasus Gettier dan seorang pemanah. Gettier tidak mengetahui bahwa jam yang ia lihat tersebut sempat berhenti. Namun dengan kepercayaannya dia membangun pengetahuan bahwa waktu yang ditunjukkan oleh jam tersebut tepat. Berbanding terbalik dengan seorang pemanah yang membangun keterampilan berdasarkan proses yang panjang. Dalam memanah targetnya, ia percaya akan dapat tepat mengenai sasarannya. Dengan belajar dalam waktu yang cukup panjang, kepercayaan itu terbangun semakin kuat sehingga ia mampu mencapai targetnya dengan tepat. Dari membangun kepercayaan tersebut, muncul kebenaran yang diperoleh melalui proses latihan. Sehingga ketika kita akan membangun suatu pengetahuan perlu sebuah dasar kebenaran dan kepercayaan.
Dalam membangun kebenaran dan kepercayaan dipengaruhi oleh kebajikan epistemik atau kecakapan kognitif. Kecakapan epistemik ini mempengaruhi seseorang untuk lebih baik dalam memperoleh suatu kebenaran, secara sadar tanpa ada pengaruh dari hal diluar pemikiran dan naluri mereka. Ketika seseorang memiliki kebajikan epistemik atau kecakapan kognitif, seseorang tersebut dapat menempatkan dirinya di lingkungan sesuai dengan kebenaran dan kepercayaan yang mereka pahami.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan untuk memperoleh pengetahuan adalah epistemologi kebajikan dan perbedaan eksternal/internal. Menurut teori ini, cara untuk memperoleh pengetahuan berasal dari kebiasaan yang dilakukan selama bertahun-tahun tanpa harus memiliki ilmu dari dunia pendidikan formal. Sebagai contohnya adalah seorang yang bekerja sebagai petugas yang memeriksa jenis kelamin ayam. Seorang yang bekerja pada bidang ini tidak harus memiliki latar belakang pendidikan dokter hewan atau peternakan. Pekerjaan ini dapat dilakukan oleh siapapun.
Dengan belajar pada supervisornya yang telah memiliki pengalaman dalam melakukan hal sama. Hal ini dipengaruhi oleh kepercayaan yang dibagun bertahun-tahun dan berdasarkan pengalaman. Sehingga, mereka mampu membedakan jenis kelamin ayam dengan cara berlatih setiap hari untuk meminimalisasi kesalahan yang dilakukan. Kepercayaan dalam menentukan jenis kelamin ayam itulah yang dinamakan sebagai perilaku kognitif yang dapat diandalkan dimana salah satu bagian dari epistemologi kebajikan dan perbedaan eksternal/internal.
Secara keseluruhan, pengetahuan itu dapat diperoleh dengan dasar teori justifikasi, kebenaran, dan kepercayaan. Selain itu juga dipengaruhi oleh reabilisme sebagai pendekatan epistemologi untuk memperkuat pengetahuan sebagai keyakinan sejati. Tidak hanya itu, ada teori lain yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan yaitu epistemologi kebajikan dan perbedaan eksternal/internal. Semua teori tersebut dapat kita gunakan untuk membentuk kepercayaan, keyakinan dalam memperoleh pengetahuan.(*)