Daerah

Pojokan 211: 15 menit

Kang Marbawi.

Sensasi yang mengiringi syahwat, itu yang menjadi candu. Haru-biru minum kopi pagi sambil merokok -bagi perokok. Kenikmatan sruputan kopi dengan iringan asap yang mengepul bergulung-gulung dari monyongnya bibir, adalah ketenangan. Ini bagi penikmat rokok dan kopi.

Beda lagi bagi pejoging atau lainnya. Keluarnya keringat, sehabis berlari mengejar angin, menjadi penanda kesegaran raga dan jiwa.

Atau rekognisi kenikmatan imagi hedonism dan kekuasaan. Menyebabkan sesiapapun rela membudakan diri pada penguasa dan godaan korupsi.

Atau godaan gandrung pada tubuh. Sekedar memenuhi imaginasi kulit; cantik, ganteng, aduhai, mulus, maco, gagah, kuning langsat, langsing, semampai dan segala racikan sensasional tubuh. Sebab rasa, bermula dari cerapan jasmaniah yang dirasai indra.

Ditambah topping psikologis; nyaman, perkasa, kepalsuan, dendam, korban, pemuas nafsu, kuat, hebat, buas, pelarian, asusila, erotis, pelampiasan, kebutuhan, dan sebagainya.

Dibumbui rasa yang halus berupa sensasi rasa suka, sayang, simpati, empati dan kemudian hadir dalam cinta yang agung. Macam roman picisan.

Bumbu dan topping itu selalu hadir pada apapun dari setiap yang memiliki rasa. Menjadi penggoda dan seolah yang utama. Dan diburu. Menjadi berahi.

Berahi pada daging, mendorongnya untuk memiliki, menikmati. Bukan pada sate daging kambing, atau sate kulit ayam. Gairah yang digilai, baik dalam ikatan, tanpa ikatan, suka sama suka atau paksaan.

Libido itu, jika didasari ketulusan dan cinta dari nurani yang tersentuh, diikat dengan sah, tentu melahirkan kepuasan yang menenangkan pun memberkahi.

Renjana yang tak diikat dengan sah, sekadar untuk mengumbar dan melampiaskan nafsu pemujaan erotis-primitiv. Hanya akan melahirkan sensasi puncak kenikmatan yang tak pernah lama dan abadi. Paling 15 menit. Itu pun jarang. Seringnya kurang dari lima (5) menit. Setelahnya lunglai-loyo. Macam kapas terkena air. Malas berkembang.

Dihiasi rasa bersalah kepada yang diikat sah -mungkin juga kepada Tuhan, dan ketakutan ketahuan.

Herannya, rasa bersalah dan ketakutan itu, selalu dikalungi dorongan kecanduan pemuasaan erotisme akan daging dan kulit. Begitupun pada godaan korup dan kekuasaan. Hingga rela mengorbankan segala.

Andai tak ketahuan, kegandrungan pemuasan nafsu akan daging, kulit, kuasa dan korupsi, semakin menjadi. Selalu mencari celah dan siasat. Keranjingan!

Pas ketahuan, nikmat yang 15 menit, menjadi kepahitan tak terperi, tak terpanai. Menunggingkan kehormatan, jatuh ke level asfala safiliin. Serendah-rendahnya tempat. Kerak kehinaan.

Bisa jadi hanya sesal yang dipunyai. Itu pun sesudah luluh lantaknya tatanan kehidupan dan peradaban diri. Keluarga dan keturunan pun ikut terpatri coreng arang.

Sejak dahulu kala hingga sekarang, pemburu kenikmatan daging dan kuasa, selalu bertumbuh kembang. Beranak pinak disetiap strata sosial; dari bawah hingga atas, yang kere hingga yang kaya, staf hingga pejabat. Yang dianggap alim pun, kadang mencicipi. Menjadi industri dan komoditi.

Sebab daging, kuasa, harta punya magnet yang besar. Menggodai setiap yang hidup dan punya rasa. Menjadi tujuan dan perebutan. Perebutan itu sendiri, kenikmatan tersendiri.

Padahal kenikmatan yang dikejar dan direbuti itu, cuma 15 menit. Alih-alih lima (5) menit. Sementara kehinaannya sepanjang hayat. Seperti ketua wasit ajang demokrasi atau para koruptor. Akankah kita ikuti? (Kang Marbawi, 200724)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua