Daerah

Nanas: Ikon Subang yang Perlu Diselamatkan, Banyak Lahan yang Tidak Produktif

Ikon Subang
Petani usai memetik buah nanas di wilayah Subang selatan.(Hadi Martadinata/Pasundan Ekspres)

SUBANG-Kabupaten Subang, terutama di wilayah selatan, telah lama dikenal sebagai daerah penghasil nanas yang berkualitas. Buah khas ini bukan hanya menjadi komoditas unggulan juga menjadi bagian dari identitas Subang. Namun, seiring perkembangan zaman dan perubahan penggunaan lahan, petani nanas di Subang kini menghadapi tantangan serius yang mengancam keberlangsungan mata pencaharian mereka.

Seiring dengan perkembangan wilayah selatan Subang yang mulai menjadi zona ekonomi baru, berbagai tempat wisata bermunculan dan memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. Pedagang lokal dan pelaku usaha kecil mendapat manfaat dari peningkatan jumlah wisatawan. Selain itu, rencana pembangunan sarana pendidikan seperti UPI juga diharapkan membawa dampak positif bagi masyarakat Subang dalam jangka panjang.

Namun, ada pertanyaan besar yang menggelayuti pikiran masyarakat, terutama para petani nanas: apa yang akan terjadi dengan lahan pertanian mereka? Pembangunan ini, meskipun bermanfaat dari segi ekonomi dan pendidikan, bisa menjadi ancaman nyata bagi lahan pertanian nanas yang sudah ada sejak lama.

Menanggapi hal tersebut salah satu petani Nanas Wahyu, menyadari bahwa dengan adanya pembangunan UPI dan tempat wisata terdapat pihak yang dirugikan dan diuntungkan.

Wahyu mengungkapkan bahwa pembangunan ini membawa dampak yang kompleks, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. "Nya kahoyong mah manjang jangan sampai dibangun ku UPI, kan rencananya mau dibangun sama universitas tapi gak tau kapan-kapannya mah gitu, ini juga plang ini sudah 2 tahun. Kalo bisa diharapkan kepada masyarakat, kan ini tanahnya tanah PTPN," ujar Wahyu, Kamis (30/5) .

Wahyu menyadari bahwa lahan yang mereka garap sebagian besar adalah lahan milik PTPN yang dipinjamkan kepada masyarakat. Dengan adanya rencana pembangunan, ketidakpastian semakin menggelayuti para petani. Mereka khawatir lahan yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian utama akan hilang.

Di tengah ketidakpastian tersebut, Wahyu mencatat adanya peningkatan harga nanas yang cukup signifikan. "Untuk pemasaran lagi bagus, sudah sampai di harga Rp 6.000 per kilogram dan itu baru tahun ini, dulu harga nanas cuma Rp 3.000 sampai Rp 4.000 sekarang sampai Rp. 6.000 dan Rp.7000," katanya.

Kenaikan harga ini seharusnya menjadi kabar baik bagi para petani, tetapi sayangnya tidak sejalan dengan kondisi lahan yang mereka hadapi. Kondisi lahan pertanian nanas saat ini sudah mulai kering dan hasilnya berkurang. Banyak kebun yang tidak diurus maksimal, hanya sekitar 60 persen yang masih terawat dengan baik. 

"Kan dulunya bener-bener diurusnya kan sekarang mah takut kena dibangun itu dan banyak yang gambut, dulu mah bersih, sekarang mah ada yang masih diurus ada yang engga, cuman sekarang mah penghasilannya turun drastis, baru tahun ini harganya tinggi," jelas Wahyu.

Wahyu menyampaikan harapannya untuk masa depan pertanian nanas di Subang. Dia berharap agar lahan bisa dibagikan kepada masyarakat per hektare atau per petak, sehingga para petani memiliki kepastian dan keamanan dalam menggarap lahan. "Pengennya kalau bisa dibagiin kemasyarakat perhektare kalao perpatok-patok berapalah kalau bisa mah dibagi rata harus tentu," tambahnya.

Selain itu, dia berharap adanya transparansi dan kejelasan dari pihak desa dan pemerintah mengenai rencana pembangunan dan ganti rugi yang dijanjikan. "Kemarin juga ada yang ngukur-ngukur di pihak Desa Sarireja katanya buat ntar nanti ada pembangunan ada ganti ruginya gatau bener atau engganya," tutup Wahyu.(hdi/sep)

Berita Terkait