Dua anak Jimmy Sugito (44), berumur lima (5) dan dua (2) tahun, tak mengerti kenapa Bapaknya, mati dikeroyok orang. Yang mereka tahu, Bapaknya sekarang tak akan lagi menemani mereka bermain atau meninabobokan mereka menjelang tidur. Bapaknya direnggut kebuasan yang datang dari kedunguan dan kebebalan nalar.
Minggu pagi, (17/11/24) di Ketapang Laok, Jimmy menjadi “tumbal” kebutaan fanatisme dan egoism ketokohan serta ketololan harga diri. Ketololan dari rasa paling berhak untuk segala, sehingga yang lain tak pantas menyemat penghormatan dan penghargaan. Berwujud pada ketersinggungan digula-i fanatisme pengikut serta dibumbui hoaxs.
Ketololan harga diri yang dibungkus “merasa paling” akan selalu membutuhkan “tumbal”. Ketololan yang dibangun dari kepentingan dan kebutuhan pribadi untuk harus selalu menjadi “paling utama”. Hasrat mahkluk buas egoism yang perlu dihidupi dengan tak peduli kepada lian, agama dan moral. Makanan utama mahkluk ini adalah terpenuhinya kepentingan diri yang utama. Menjadi selfesteem yang over narsistik.
Para pengeroyok Jimmy adalah Furies -makhluk mengerikan (mitologi Yunani) yang muncul dari dunia bawah tanah yang dijadikan alat balas dendam dewa-dewa. Dan dewa-dewa itu saat ini adalah harga diri elit, tokoh agama, ketololan harga diri dan egoism diri. Furies adalah amuk masa yang dimanfaatkan dan kadang dikendalikan oleh elit. Furies adalah algojo untuk memancung “sang tumbal”. Seperti halnya Orestes yang dipancung Furies. Pun Jimmy dipancung kepandiran egoism tokoh.
Jimmy -sebelum jadi korban, dan keluarganya bermetamorfisis menjadi Eumenides –“sang murah hati” yang tak menuntut balas -untuk tidak menjadi Furies. Eumenides yang tidak mengagungkan ketololan harga diri dan dendam.
Memang Jimmy bukan Cimon, jenderal dan pemimpin politik Athena yang diasingkan karena kalah dalam politik internal tahun 461 SM. Namun Jimmy dan Cimon serta Orestes sama-sama tumbal dari ketololan harga diri dan egosime. Jimmy menjadi martir dari korban egoism tokoh elit. Mangsa dari kebebalan nalar dan kedegilan narsisme.
Seperti dikenal dalam klenik disemua kebudayaan tentang mistik, tumbal adalah sesuatu (bisa orang atau hewan) yang dikorbankan untuk memenuhi hasrat seseorang. Tumbal selalu ada dan dicari serta diadakan. Balasannya adalah kemashuran, harta dan jabatan. Sebut saja “babi ngepet, santet, voodoo”, -bagian budaya klenik yang konon membutuhkan ritual dan tumbal.
Saat ini model tumbal untuk kemashuran, jabatan atau kekuasaan telah didiversifikasi dan diekstensifikasikan dalam fanatisme buta dan kebebalan nalar. Sebab fanatisme buta dan kebebalan nalar justru mudah mendapatkan tumbal dalam jumlah yang besar dan bisa setiap saat. Sebab tumbal itu, harus selalau ada untuk memenuhi permintaan dari ketololan harga diri dan kebuasan egoisme seseorang.
Bebal nalar yang dibangun dengan narasi hoaxs dan disebarkan laksana virus yang menjangkiti isi kepala massa. Elit yang mampu membangun kebebalan nalar masal dan fanatisme buta akan mendapatkan tumbal untuk ditukar dengan kekuasaan dan kepuasaan dahaga narsisme ego.
Nalar bebal untuk menjangkiti massa adalah fanatisme buta. Maka selalu dinarasikan diksi yang harus diimani adalah “yang berbeda adalah musuh dan tak pantas ada”, “yang benar adalah pemimpinku/ulamaku, pilihanku, siapa yang tak sama pilihan, tidak memilih pemimpinku adalah salah dan tak pantas”, dan lainnya.
Selama bebal nalar dan ketololan hargadiri dan egoisme berdomisili di pikiran dan hati, maka selamanya akan ada tumbal. Sebab mereka adalah makhluk yang hidup dalam diri kita. Tergantung kita sendiri, mau menjadikannya menjadi binatang buas atau justru menjadi Eumenides-makhluk yang murah hati.(Kang Marbawi, 241124)