Pragmatism itu seperti sambal terasi. Terasa pedas saat itu juga ketika dikonsumsi. Bukan sambal namanya, jika lidah bisa menunda rasa pedas setelah selesai makan. Bukan pula seperti aroma parfum putri saya, yang tertinggal bersama angin ketika pemilik parfum telah lewat jauh.
Ibarat orang lapar, yang dibutuhkan adalah makanan dan minuman untuk meredakan protes cacing di perut. Begitupun orang pragmatis, melihat sesuatu berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kebermanfaatannya. Bagi orang pragmatis, tak butuh teori dan penjelasan berliku-liku dan proses yang panjang bin membosankan. Cukup apa keuntungan yang didapat. Titik! Lain itu, silahkan larung saja ke laut.
Tak penting, soal bagaimana cara mendapatkan keuntungan itu, atau siapa yang dikorbankan. Tak peduli. Ini model pragmatism machavielins. Dalam politik, tarekat pragmatism-machavielins ini jelas digunakan dalam formula minimum winning coalition. Konon bertujuan untuk menghindari kekuatan dominan yang mengancam soliditas koalisi dan menjadi bagian dari permainan daya tawar -bargaining game. Menurut sohibul hikayat, bagian dari bargaining game di panggung politik adalah penyanderaan kasus-kasus korupsi yang tak diungkap ke publik. Entah yang mana dan siapa?
Konon relasi yang dibangun oleh penganut tarikat pragmatism adalah nilai manfaat yang didapat. Ikatannya adalah rasional, bisa dilaksanakan, menguntungkan dan bisa dirasakan langsung oleh dirinya. Pantas, relasi orang pragmatis dengan yang lain diukur berdasarkan asas manfaat dan keuntungan semata.
Bahkan agama bagi tarekat pragmatism hanya dilihat dari sisi dampak dan manfaatnya. Soal kebenaran dan keyakinan itu nomor tiga dan empat. Bagi mereka -kaum pragmatism, jika agama/kepercayaan membuat anda murah hati, baik moral dan tingkahlakunya, maka kepercayaan anda baik. Ini kekeliruannya kaum pragmatis, hanya melihat agama dari sisi hasil perilaku penganut agama. Padahal realitas kepercayaan seseorang dilingkupi banyak hal. Dalam agama, keyakinan-iman tak bisa diukur dengan hasil instan. Butuh proses untuk melahirkan sebuah “rahmat” bagi semesta sebagai dampak dari keyakinan/agama seseorang.
Bagi kaum pragmatis, hubungan dengan sesama itu bak barang dagangan di bakul sayuran. Harga pas, ada keuntungan besar, silahkan ambil. Tak boleh ngutang. Jika perlu kenakan tarif selangit seperti model kebijakan tarif Presiden Trump. Relasi adalah komoditi yag dilihat dari nilai keuntungan dan kemanfaat atas dasar kebutuhan dan kepentingannya.
Maaf tak boleh masuk -no entry, dilarang keras cinta dan ketulusan nempel seperti prangko dalam relasi manusia. Padahal cinta dan ketulusan itu menjadi penanda hubungan humanis antar sesama.
Bayangkan bagaimana jika sebuah pernikahan didasarkan atas tarekat pragmatism.
“Sayang aku akan setia disampingmu, asal kau penuhi semua kebutuhanku. Kalau tidak, ku bongkar semua borokmu dan kutinggalkan kau!” Bisa kapiran, rumah tangga!
Pun jika pertemanan yang menganut aliran “gue dapat apa dari loe”. Melahirkan kaum oportunis yang mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Seperti semut mengerumuni gula. Semua mendekat dan menjilat. Tapi jika manisnya hilang, semua pergi mencari pemanis di tempat lain.
Bisa dibayangkan, jika hubungan pertemanan kita berdasarkan tagline “apa keuntungannya buat gue”, relasi sosial kita, akan dipenuhi konflik.
Sulit rasanya, menemukan relasi yang tulus dan penuh cinta kasih tanpa pamrih seperti pengabdian Bunda Teresia pada penderita kusta di Kalkuta India, Guru Sekumpul Martapura, Kalimantan Selatan, atau orang tua kita. Mereka adalah contoh teladan yang membangun relasi kemanusiaan atas dasar ketulusan, kasih sayang dan melayani sesama.
Ada relasi-relasi tulus yang hadir alami dalam setiap pertautan manusia. Disetiap sudut ego kita, ada sinyal ketulusan yang harus terus diasah dan dibesarkan frekuensinya. Sinyal relasi yang tulus hanya bisa ditangkap dalam frekuensi ketulusan yang sama. Terimakasih untuk semua yang tulus dan dirasakan dengan tulus pertemanannya. (Kang Marbawi, 130425)