Kemerdekaan Indonesia telah diwariskan setiap tahunnya dari generasi ke genarasi. Mulai dari generasi Baby Boomer, generasi X, generasi Y atau Milenial, hingga akhirnya sampai ke generasi Z dan Alpha. Baby Boomer yang lahir pada tahun 1946-1964. Kedua, generasi X yang lahir pada tahun 1965 hingga 1980. Ketiga, generasi Y atau Milenial mereka yang lahir pada tahun 1981 hingga 1996. Keempat, generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Kelima, generasi Alpha yang lahir dari tahun 2013 hingga saat ini.
Semua generasi memiliki kapasitas dan keunggulan berbeda dalam memperjuangkan kehidupan. Bukan hanya generasi Baby Boomer yang digadang-gadang menjadi generasi yang paling kuat dalam mempertahankan teritorialnya menghadapi segala perubahan zaman, namun generasi X sampai generasi Alpha juga memiliki cara mereka sendiri untuk berpartisipasi dalam peradaban dunia.
Namun sayangnya, akhir-akhir ini setiap generasi seolah merasa unggul dalam berbagai aspek kehidupan. Seperti saling beradu nasib yang menjadi salah satu bentuk kekuatan untuk menunjukkan eksistensi generasi mereka. Katakan saja sebagai sosok yang dikelilingi oleh perkembangan teknologi, penulis selaku generasi Z seringkali mempertahankan diri dari sebuah peraduan mengenai siapa yang kuat dalam bertahan hidup.
Generasi Z atau generasi muda di era 4.0 sering dianggap sebagai pelopor dan pendorong utama dari perkembangan zaman. Dengan kemampuan adaptasinya yang tinggi, generasi ini mampu mentransformasi dan mengarahkan zaman ke arah yang semakin modern dan maju, di tengah arus perubahan yang terjadi. Alhasil, terkadang beragam tekanan tak sanggup ditampung oleh generasi Z yang menyebabkan kesehatan mental mereka terganggu dan menjadi akibat dari sebab tersebut.
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik yang kedua-duanya perlu diperhatikan secara serius. Sudah seharusnya, kesehatan mental tidak dianggap sepele karena telah menjadi isu serius yang sering digaungkan di era serba digital seperti sekarang.
Di Indonesia sendiri, Kementerian Kesehatan pernah meriset pada tahun 2018 terkait depresi. Data tersebut mengungkapkan prevalensi depresi di Indonesia adalah 6% dari total jumlah penduduk. Usia pemilik depresi banyak yang terjadi di kalangan anak muda berusia 15 sampai 24 tahun dan sebanyak 6,2% terjadi pada kaum milenial muda. Cukup serius, bukan?
Di zaman sekarang, kesadaran terhadap kesehatan mental sangat digaungkan dengan keras oleh Generasi Z di sosial media.Tidak ayal, mereka sangat peduli dengan kesehatan mental sebab tekanan dari keluarga, teman, bahkan lingkungan sekitar dapat memengaruhi kondisi psikologis seseorang. Menjaga kesehatan mental pada Generasi Z perlu dilakukan agar seseorang tidak mengalami rasa takut, cemas, dan khawatir terhadap lingkungan sekitarnya.
Rasa takut dan cemas berlebihan dapat berubah menjadi gangguan kesehatan mental yang sangat mengganggu produktivitas sehari-hari.Namun, gangguan kesehatan mental seringkali dianggap sepele oleh beberapa orang dan dapat diatasi dengan mudah tanpa perlu pergi ke psikolog.Gangguan kesehatan mental yang sering terjadi pada Gen Z adalah depresi yang diakibatkan oleh sejumlah faktor.
Faktor penyebab depresi terhadap kesehatan mental kalangan anak muda berusia 15 sampai 24 tahun tersebut juga beragam. Sebut saja seperti faktor genetik, perubahan hormon, hingga pengalaman traumatis, percintaan, pertemanan, keluarga maupun tekanan hidup. Menurut Kemenkes, adapun gejala yang timbul adalah mudah marah, merasa putus asa, rendah diri, merasa cemas dan khawatir yang berlebihan.
Terlebih lagi, dengan adanya Pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan masyarakat dunia juga berpengaruh besar terhadap kesehatan mental seseorang dan berimbas pada generasi yang masih menjalankan studi di instansi pendidikan. Masih membekas dalam ingatan, bagaimana generasi yang terjebak oleh Pandemi harus berjuang menempuh pendidikan dan memutar otak untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.
Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak orang yang tutup mata dengan pentingnya memperjuangkan kesehatan mental. Bahkan, ketika generasi Z mencoba membuka suara mengenai isu kesehatan mental, generasi yang menganggap dirinya paling kuat bertahan menghadapi perubahan zaman berusaha menyangkal terhadap ratusan fakta bahwa kesehatan mental itu penting bagi siapa saja.
Mengaku jika generasi jauh sebelum X-lah yang tidak memikirkan tentang kesehatan mental, lalu mencemooh generasi muda yang dianggap lemah soal bertahan hidup di dunia. Padahal, dengan menyuarakan kesehatan mental menjadi bentuk dari cara mereka dan kita yang terlahir menjadi generasi Z antara tahun 1997-2012 untuk bertahan dari berbagai tekanan kehidupan yang melesat cepat.
Bagi setiap generasi yang kesulitan menghadapi orang yang tengah mengungkapkan masalah kesehatan mental, mendengarkan dan tidak membandingkan adalah beberapa cara yang tepat untuk merangkul mereka yang membutuhkan. Perlu diingat, generasi Z sama seperti generasi sebelum-sebelumnya yang mencoba menjadi kuat sesuai dengan zamannya.
Gen Z tidak perlu takut untuk menyuarakan isu kesehatan mental di lingkungan terdekat maupun sosial media sebab satu suara dapat menyelamatkan nyawa para pewaris masa depan bangsa dan negara Indonesia.
(ipa/in/nym)