Oleh :
Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
(Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Ketika mendengar istilah biogeografi, banyak dari kita mungkin merasa asing atau berpikir bahwa ilmu ini jauh dari kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya, biogeografi memainkan peran yang sangat penting dalam membantu kita belajar memahami distribusi organisme di Bumi. Lebih dari sekadar menentukan di mana organisme hidup, biogeografi menjelaskan mengapa organisme tersebut berada di suatu tempat dan bagaimana faktor-faktor seperti iklim, geografi, dan sejarah bumi berperan dalam membentuk pola distribusi kehidupan di planet kita.
Biogeografi adalah studi tentang distribusi geografis organisme, baik flora maupun fauna, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola distribusi ini. Ilmu ini memperhatikan tidak hanya aspek biologis, tetapi juga aspek geografi, geologi, ekologi, hingga antropologi, menjadikannya disiplin ilmu yang sangat kaya dan kompleks. Studi biogeografi berkontribusi secara signifikan pada pemahaman kita tentang keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan peran setiap spesies dalam ekosistemnya.
l
Setiap sudut bumi memiliki keunikan hayatinya sendiri, yang bisa dengan mudah kita saksikan di sekitar kita. Sebagai contoh, kita bisa melihat perbedaan mencolok antara flora dan fauna yang ada di Sumatera dan Kalimantan dibandingkan dengan yang ada di Sulawesi dan Papua.
Pertanyaannya adalah, mengapa ada begitu banyak keragaman flora, fauna, habitat, dan ekosistem di Bumi ini? Jawabannya terletak pada beragam faktor yang mempengaruhi distribusi kehidupan di planet kita.
Salah satu faktor utama adalah fisiografis (Lomolino et al., 2016), yaitu bentuk dan struktur fisik permukaan bumi. Bentang alam seperti gunung, lembah, laut, dan gurun menciptakan kondisi lingkungan yang unik, yang memungkinkan spesies tertentu untuk berkembang, sementara yang lain mungkin tidak mampu bertahan hidup. Sebagai contoh, spesies tanaman yang tumbuh di daerah tropis dengan curah hujan tinggi sangat berbeda dengan yang tumbuh di daerah gurun yang kering dan panas.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah iklim (kondisi iklim) (Walther et al., 2002), yang meliputi suhu, curah hujan, angin, dan kondisi cuaca lainnya. Iklim sangat berpengaruh terhadap distribusi spesies di bumi. Misalnya, di daerah tropis dengan curah hujan yang tinggi dan suhu yang hangat, kita akan menemukan keanekaragaman spesies yang sangat tinggi, seperti hutan hujan tropis yang dipenuhi berbagai spesies pohon, hewan, dan serangga. Sebaliknya, di daerah kutub yang dingin dan kering, jumlah spesies lebih sedikit karena lingkungan tersebut lebih keras dan tidak mendukung kehidupan banyak organisme.
Selain faktor fisiografis dan iklim, faktor manusia juga sangat mempengaruhi distribusi spesies (Laurance et al., 2014). Aktivitas manusia, seperti domestikasi hewan, pertanian, urbanisasi, dan pembangunan infrastruktur, telah mengubah ekosistem alam secara drastis. Manusia telah memperkenalkan spesies baru ke berbagai wilayah, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, yang terkadang menyebabkan gangguan pada keseimbangan ekosistem lokal.
Indonesia adalah contoh nyata dari bagaimana faktor-faktor geografi dan sejarah bumi dapat membentuk keanekaragaman hayati. Indonesia terletak di antara dua kawasan biogeografis besar dunia: kawasan Sunda, yang merupakan bagian dari ekoregion Asia, dan kawasan Sahul, yang mencakup ekoregion Australia. Di antara kedua kawasan ini, terdapat daerah peralihan yang dikenal sebagai Wallacea, yang meliputi pulau-pulau seperti Sulawesi, Lombok, dan Maluku (Wallace, 1860).
Di kawasan Sunda, kita akan menemukan spesies besar seperti gajah, harimau, dan orangutan. Sementara di kawasan Sahul, spesies seperti kanguru, kuskus, dan burung cendrawasih mendominasi. Wilayah Wallacea, yang merupakan daerah peralihan antara kedua kawasan ini, menjadi tempat hidup bagi spesies endemik yang sangat khas, seperti anoa dan babirusa. Pola distribusi spesies ini tidak hanya mencerminkan perbedaan geografis, tetapi juga evolusi spesies yang dipengaruhi oleh sejarah geologis bumi.
Sejarah bumi berperan besar dalam pembentukan keanekaragaman hayati Indonesia. Misalnya, selama zaman es, permukaan laut yang lebih rendah memungkinkan daratan yang kini terpisah oleh laut, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, tersambung dengan daratan utama Asia. Akibatnya, flora dan fauna di pulau-pulau ini mirip dengan yang ada di daratan Asia. Sementara itu, kawasan Sahul (Papua dan Australia) tetap terpisah oleh laut, sehingga flora dan fauna di wilayah ini berkembang secara independent (Cannon et al., 2009).
Meskipun bumi memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, aktivitas manusia telah menyebabkan gangguan serius terhadap ekosistem alami. Deforestasi, urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan telah menghancurkan habitat alami spesies dan mengancam keseimbangan ekosistem.
Di Indonesia, hutan-hutan tropis yang dulunya merupakan rumah bagi spesies-spesies langka kini semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Aktivitas ini tidak hanya menyebabkan hilangnya habitat alami bagi banyak spesies, tetapi juga mempercepat laju kepunahan bagi spesies-spesies endemik yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat.
Ketidaktahuan manusia akan pentingnya menjaga ekosistem memperburuk situasi. Banyak orang tidak menyadari bahwa hilangnya satu spesies dapat berdampak domino terhadap spesies lain dan keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Misalnya, hilangnya predator puncak seperti harimau atau serigala dapat menyebabkan lonjakan populasi hewan herbivora, yang pada gilirannya akan menyebabkan kerusakan vegetasi dan hilangnya habitat alami.
Salah satu cara manusia memodifikasi ekosistem adalah melalui domestikasi dan introduksi spesies. Domestikasi adalah upaya manusia untuk membawa flora atau fauna dari habitat aslinya ke habitat baru dengan tujuan tertentu, seperti untuk pertanian, hewan peliharaan, atau peternakan.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah flora atau fauna bisa dengan mudah dipindahkan dari habitat asli mereka ke habitat baru? Jawabannya tidak selalu. Spesies yang dipindahkan ke habitat baru seringkali harus menghadapi tantangan besar untuk beradaptasi. Beberapa spesies dapat beradaptasi dengan baik, tetapi banyak juga yang gagal beradaptasi, dan lebih parah lagi, beberapa spesies menjadi spesies invasif yang mengganggu keseimbangan ekosistem local (Simberloff et al., 2013).
Kucing (Felis catus) adalah contoh spesies yang mengalami domestikasi dan introduksi ke Indonesia. Proses domestikasi kucing dimulai sekitar 9.000 tahun yang lalu di wilayah Fertile Crescent, Timur Tengah, di mana kucing liar Afrika (Felis lybica) mulai hidup berdampingan dengan manusia untuk mengendalikan hama seperti tikus. Seiring waktu, kucing domestik menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, melalui jalur perdagangan maritim dan migrasi manusia. Namun, sekarang semakin banyak spesies kucing yang di introduksi sebagai hewan peliharaan (kucing rumahan) di Indonesia, tapi tidak sedikit juga yang kemudian dilepas liarkan karena perihal ekonomi, hal tersebut juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Apalagi bisa atau tidaknya kucing tersebut untuk adaptasi di alam liar yang bukan habitatnya.
Spesies invasif adalah spesies yang diperkenalkan ke habitat baru dan berkembang biak dengan cepat, mengalahkan spesies asli yang ada di wilayah tersebut. Salah satu contoh kerusakan ekosistem oleh spesies invasif adalah ikan koi yang dilepaskan secara sembarangan ke ekosistem perairan yang mana hal tersebut sudah terjadi di Indonesia. Meskipun ikan koi terlihat indah, mereka adalah spesies yang sangat kompetitif dalam mencari makan dan dapat mengganggu ekosistem air tawar, menyebabkan penurunan populasi spesies ikan asli/lokal lainnya.
Contoh lainnya adalah eceng gondok, gulma air yang diperkenalkan ke berbagai perairan di Asia Tenggara. Tanaman ini tumbuh dengan sangat cepat, menutupi permukaan air, mengurangi kadar oksigen di dalam air, dan membunuh kehidupan akuatik. Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki niat baik dalam hal memperkenalkan spesies baru, akan tetapi jika tanpa pengelolaan yang tepat, hasilnya bisa menjadi bencana bagi ekosistem lokal.
Sebagai manusia, kita memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi keanekaragaman hayati di planet kita. Salah satu langkah pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Edukasi tentang biogeografi dan biodiversitas perlu diperkenalkan sejak dini agar generasi mendatang lebih memahami pentingnya menjaga setiap spesies dan habitat alami mereka.
Langkah konkret yang bisa kita lakukan untuk mendukung upaya konservasi di tingkat lokal dan global. Misalnya, rehabilitasi hutan yang rusak, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan upaya reintroduksi spesies lokal/langka ke habitat aslinya adalah langkah-langkah yang dapat membantu memulihkan keseimbangan ekosistem. Program restorasi lahan yang melibatkan masyarakat lokal juga terbukti efektif dalam memulihkan ekosistem yang rusak (Ota et al., 2020).
Pendekatan ini sering dikenal sebagai community-based forest management atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang mengakui bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem dan keterkaitan antara aktivitas manusia dengan kesehatan lingkungan. Karena, masyarakat lokal sering kali memiliki keterlibatan langsung dan kepentingan dalam menjaga sumber daya alam karena keberlanjutan ekosistem berdampak langsung pada mata pencaharian mereka.
Selain itu, kebijakan yang melindungi habitat alami dari ancaman pembangunan yang tidak terkendali harus terus diperjuangkan. Di sisi lain, kita juga harus mencegah eksploitasi berlebihan, pembalakan liar, serta introduksi spesies asing yang tidak dikelola dengan baik.(*)