Sains

Pojokan 201: Pasar

Kang Marbawi.

Pagi itu, Sabtu 11 Mei 2024, saya mengantarkan istri ke pasar tradisional. Pasar yang berada di komplek perumahan itu terletak di kelurahan Teluk Pucung Kecamatan Bekasi Utara. Bukan rutinitas saya mengantarkan istri.

Sesekali saja mengantar ke pasar, jika ada di rumah dan istri minta  atau saya sendiri yang menawarkan untuk mengantarkan ke pasar. Bersama anak bungsu saya yang berumur dua tahun, kami menaiki motor yang masih tersisa 20 bulan cicilan lagi.

Ku gendong anak ku menyusuri gang-gang antar pedagang di Pasar Asri mengikuti Langkah istriku yang lincah. Seolah dia adalah penghuni pasar yang telah tahu seluk-beluk isi pasar. Saya tidak tahu apa yang mau dibeli. Istriku langsung menuju tukang ikan. Menawarkan kepadaku kepiting, udang dan kerang. Aku iyakan saja.  Tak lupa kepala ikan Kakap ditawarkan. Seolah tahu agar isi kepala saya tak seperti peribahasa “otak udang”.

Namun menolak dengan keras hingga tingkat “haram” agar tak menjadi koruptor. Koruptor kelas “teri” pun akan dikartu merah, apalagi jadi koruptot kelas Kakap. Korupsi “HARAM” hingga yaumil qiyamah. “Jangan sekali-kali tergoda”, pesannya. Korupsi adalah najis mugholadzoh tingkat tertinggi

Galibnya pasar tradisional, segala pedagang dengan aneka ragam dagangannya bercampur baur. Tak teratur walau memiliki keteraturan tersendiri yang disepakati bersama. Pedagang emas nangkring berdekatan di blok pedagang ikan dan bumbu, pun asyik-asyik saja.  

Penjual makanan ringan;kue basah dan segala kue kering bercampur dengan tukang bumbu dan daging, tak masalah. Tempatpun tak jadi soal. Dimana ada tempat kosong dan disepakati kiri kanan, jadi gelar dagangan.

Cerita pasar tradisional adalah cerita rakyat biasa dan umum. Cerita tentang kemandirian ekonomi dengan harga miring. Lakon tentang kebersamaan. Juga drama tentang tak terurusnya sampah dan reduksi sosial lainnya. Angka-angka statistik soal eksistensi pasar tradisional yang dimoderenkan menjadi sesuatu yang keniscayaan. Untuk menggeser kesan kumuh dan jorok.

Tradisional boleh, tapi tetap harus terusur dan terawat dengan baik. Tapi bukan menggusur kebersamaan dan ekonomi rakyat yang tumbuh alami versus pemodal kapitalis. Orang sekarang memang membutuhkan pasar yang bisa untuk conten di media sosial.

Pasar adalah lokus (lokasi khusus) pergerakan dan tumbuhnya ekonomi rakyat. Siapa saja boleh berjualan asal sesuai ketentuan dan menaati aturan. Tak peduli punya modal berapa atau tak punya modal. Jual tenaga pun tak apa. Asal tak jual diri dan harga diri.

Nyatanya, pikiran kita, telah lama menjadi pasar dan media untuk membentuk persepsi. Persepsi kita adalah komoditas yang sangat berharga untuk menentukan laku tidaknya sebuah produk. Juga menentukan dan mengarahkan kepentingan sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan politik. Berjuta iklan yang dibuat para produsen, menjadi salah satu bukti bahwa, memengaruhi persepsi publik terhadap sebuah produk, akan memberi keuntungan terhadap naiknya statistik penjualan.

Persepsi memengaruhi realita. Persepsi menciptakan realitas dan menuntun perilaku. Itulah yang digunakan para buzzer, tim kreatif iklan, pesohor politik dan non politik di negeri ini. Jika bisa memengaruhi persepsi (kesan) publik atas satu isu atau produk, maka yang dipersepsikan akan menjadi realitas.

Dan saat ini, pikiran kita adalah pasar untuk berbagai persepsi yang ditawarkan. Pikiran kita adalah pasar bagi jutaan persepsi yang dibentuk sesuai kepentingan produsen. Produsen apapun itu; politik, sosial, ekonomi, budaya, makanan, gaya hidup, rumah, ponsel, celana kolor, skin care dan seabrek barang-barang konsumtif lainnya.

Medianya melalui media sosial (medsos) yang dimiliki oleh kita. Segala hal yang dijejalkan oleh medsos adalah pembentukan persepsi. Persepsi terhadap suatu realitas. Realitas yang diciptakan berdasarkan persepsi yang disuapkan kepada pikiran kita. Melahirkan simulacra, kebohongan (hoaxs) yang menjadi kebenaran. Menyungkurkan realitas sebenarnya, menjadi terasing dan disangkal.

Mengantar istri ke pasar adalah bagian membentuk persepsi dan realitas. Bahwa saya sayang dan perhatian kepada istri dan keluargaku. Dengan cara sederhana, mengantarnya ke pasar.(Kang Marbawi, 110524) 

 

 

 

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua