Mulai sekarang harus kutanamkan ke kepala anakku, tentang pentingnya menjaga etika dan moral. Sama pentingnya dengan mengisi perut dan isi kuota untuk handphone (hp) nya. Sebab tanpa quota, anakku takkan bisa mengupload story di media sosial atau melihat reels yang lain. Buat mereka -anakku dan Gen Z, kuota adalah nyawa dan nafas kehidupan utamanya.
Nah begitupun dengan etika dan moral. Kalau anakku hidup tanpa etika dan moral, dia akan seperti mayat hidup. Orang bisa kabur dan bahkan diceburkan kembali ke liang kubur. Etika dan moral harus nempel dalam laku sanubarinya, seperti pigmen di kulit.
Kalau anakku bertanya apa itu moral dan etika. Ku beri saja jawaban sederhana. Moral itu soal baik dan buruk, soal pantas dan tidaknya, sesuatu dilakukan. Seperti tak pantasnya laku fleksing. Atau menggadaikan rasa malu demi kekuasaan dan laku hedonis. Itu moral.
Nah kalau etika? Itu soal laku lampah si anak agar tidak menabrak aturan, tidak semau sendiri, tahu tata-titi pergaulan, sopan-santun, tidak asal ngomong, menjaga kepekaan dan nurani. Ini seperti menjaga gawang agar tidak keceplosan bola, akibat tendangan lawan. Gawang ini harus dijaga mati-matian.
Kok sampai penting banget sih soal moral dan etika ini harus ditanamkan sampai berakar tunjang di kepala anakku?
Memang sangat penting bin urgen alias prioritas. Jika anakku tak tahu apa itu keadaban, kepekaan, kepatutan, kesederhanaan, keadilan dan segala nilai kemanusiaan lainnya, bisa jadi binatang buas, liar dan binal nanti, jika mereka dewasa. Mereka hanya memikirkan kuasa dan bagaimana memenuhi perut saja. Kalau sejak kecil tak tahu etika dan moral, dewasa kelak, nurani mereka bisa saja kalah dengan logika perut, sahwat dan kekuasaan. Sebab pendapat perut dan kekuasan punya terminalnya masing-masing.
Begitupun etika dan moral, punya pemberhentiannya sendiri. Terminal yang tak pernah disambangi oleh hedonism dan penguasa.
Soal Etika dan moral ini, tak hanya perlu dijejalkan sedalam-dalamnya ke benak kepala anakku. Mereka juga perlu ditontonkan perilaku yang mulia itu seperti apa. Sebab mereka lebih banyak nonton apa yang ditayangkan di youtube dan media sosial. Tontonan yang jadi tuntutunan. Sayangnya tuntutunan yang seharusnya menjadi teladan sudah limit edition.
Melalui media sosial ktu, kita lebih banyak menonton para tokoh penguasa yang mempertontonkan kakistokrasi. Penguasa atau pemerintahan oligarkhi yang lebih mementingkan kesejahteraan penguasa dan kroni, bukan kesejahteraan rakyat. Penggunaan kekuasaan demi kepentingan dan atau kebijakan penuh conflict of interest.
Laku lampah yang bertentangan dengan etika dan moral. Melahirkan disonansi kognitif. Ketidakselarasan perilaku sang panutan/diri dengan tata nilai etika dan moral yang menjadi keyakinan. Seperti buah semangka berdaun sirih.
Laku lampah yang menabrak moralitas dan tata nilai. Dibungkus dengan pencintraan yang palsu. Pseudo sebutannya, menutupi diri dengan kepalsuan dan pencitraan suci bersih. Seperti bunglon, yang bisa menyesuaikan warna kulit sesuai dengan warna pohon dimana ditempati.
Seolah kampanye kesejahteraan untuk semua, tapi disamping rumah ada yang kelaparan. Jargon kesejahteraan yang senyatanya hanya dinikmati oleh kroninya. Rakyat cukup mendapatkan nina-bobo dari jargon. Atau jargon Fiat justitia ruat caelum, tegakkanlah keadilan walau pun langit akan runtuh. Yang terjadi justru sebaliknya, hukum dipecundangi demi kekuasaan. Itu pseudo, semu dan palsu.
Maka perlu juga anakku dibawa ke kebun binatang. Berlama-lamalah menatap harimau di kandangnya. Sambil lirih menasehati, “kau harus mengerangkeng nafsu buas mu, agar tak mencederai nilai etik, moral dan kemanusiaan. Dan jangan kau ikut sifat bunglon yang bisa merubah haluan dimana mereka berpijak dan punya kepentingan”.
“Jadi siapa tuntunan keteladananannya,” tanya anakku. Aku pun bengong. Karena tidak mungkin menyebut harimau atau bunglon. (Kang Marbawi, 290324)