Daerah

Pojokan 202: Bunga Anggrek Besi

Pojokan 202: Bunga Anggrek Besi.
Pojokan 202: Bunga Anggrek Besi.

HARUSKAH keadaban dan kepatutan diabaikan untuk menang dalam politik? Haruskah akal sehat ditanggalkan dan rasa kemanusiaan dicampakkan untuk merebut kekuasaan? Apakah etika dan moral hanya menjadi bantalan lipstick pemanis citra? Mewujud menjadi abai dan culas terhadap hukum dan nurani rakyat. Itu pesan tegas Megawati Soekarno Putri, Presiden ke 5.  Pesan yang sekaligus sentilan ideologis terhadap siapapun.

Pesan ideologis itu, bisa jadi didapat dari jalan hidupnya yang sering terluka. Memang kebijaksanaan itu, konon akan lahir dari orang yang mampu mensaripatikan pengalaman hidupnya menjadi sebuah nilai dan prinsip. Dan Megawati dikenal salah satu tokoh yang memiliki prinsip yang teguh dan kuat memegang nilai.

Kekuatan yang didasari oleh pengalaman dalam menyembuhkan luka-luka hidupnya. Bukan luka koreng gudig yang biasa diidap orang biasa seperti saya. Tapi luka batin dan politik yang membekas dan tumbuh menjadi kekuatan kehidupan dan prinsip hidup.

Salah satu luka yang pernah dihadapinya adalah menyaksikan bagaimana diabaikannya seorang proklamator dimasa akhir hayatnya. Minggu, 21 Juni 1970 pukul 06.30 s.d. 07.17 WIB, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD), Megawati membisikan syahadat di telinga Bung Karno yang terbaring lemah diranjang pasen. Bung Karno hanya membalas dengan bisikan, “Allah, Allah, Allah” seiring berhembus pula napasnya. Megawati menangis, keluarga menangis, saya pun menangis membayangkan Soekarno di detik-detik akhir.

Ini menjadi luka pertama Megawati. Luka karena tak dimanusiawikannya sang Proklamator. Bandingkan dengan luka saya. Luka pertama kehidupan saya dan bisa jadi yang lain adalah luka ditolak cinta. Tak berkelas banget memang!!!

Luka itu kemudian menjadikan Megawati paham betul arti kemanusiaan dan empati terhadap kehidupan. Pun menjadi kekuatan prinsip untuk memegang keadaban dan nurani serta kecintaan terhadap rakyat. Pengalaman terluka batin menjadikan Megawati memiliki keteguhan terhadap prinsip.

Prinsip yang teguh untuk menjunjung tinggi keadaban dan Nurani serta nilai kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaan.  Sementara prinsip hidup orang kebanyakan adalah apapun dilakukan demi kekuasaan. Soal kekuasaan, tentu saya tak punya. Tapi saya melakukan apapun demi mengejar kesenangan. Minimal menyenangkan istri, anak, keluarga dan sekitar dengan cara yang benar dan sederhana.

Prinsip lain yang mungkin dipegangi erat -seolah memegang tali ketika dipinggir jurang, oleh Megawati dan juga para negarawan lainnya adalah memuliakan kepentingan rakyat dan menghempaskan kepentingan pribadi dan golongan. Menjunjung di atas kepala kepentingan rakyat, menjadi moral etika pertama sebagai negarawan. Dengan moral etik, memandu dan menimbang kepatutan dari laku lampah kita. Demikian yang diprinsipi Megawati.

Bukan sebaliknya, seperti yang dilakukan salah satu Menteri Pertanian, yang lebih mengedepankan urusan cuci kolor, ngelap kulit muka anaknya, ulang tahun cucu, renov kamar anak hingga bayar cicilan mobil dari uang jambret dan palak ke bawahannya. Prinsip aji mumpung dan tak tahu malu, yang dipakai acuan. Ini sangat melukai nurani.

Luka hidup Megawati lainnya adalah ketika hukum dan kepentingan rakyat dikangkangi demi kekuasaan. Padahal mewujudkan kekuasaan yang tunduk pada hukum dan moral etik itu, menjadi cita-citanya. Mewujud pada kebijakan yang menyentuh dan mendengar aspirasi rakyat.

Mega -sang Bunga Anggrek Putih Besi,  adalah tokoh yang tabah dan teruji dalam menghadap badai dan gelombang besar kehidupan politik. Tak goyah tekanan dan rintangan politik yang berat. Komitmen terhadap tujuan organisasi, nurani, moral etik dan jalan hukum. Melahirkan kharisma kuat dari seorang Megawati. Kharisma dan kekuatan prinsip yang ditempa dari ketabahan menghadapi, menyembuhkan dan memaknai luka-luka hidupnya.

Memang tak selevel antara sang “Bunga Anggrek Putih Besi” dengan saya. Sejujurnya luka hidup saya tak sedramatis Ibu Mega. Ya…. paling soal ditolak cinta dan tak pernah jadi presiden saja. Presiden klub bola kelas kampung, maksud saya. Hanya itu yang membuat koreng diperjalanan sejarah hidup saya. Apakah sang “Bunga Angrek Putih Besi” juga terluka oleh mantan kader kebanggaan dan atau mantan anak buahnya ketika jadi presiden?  Entahlah. Semoga tidak. (Kang Marbawi, 180524)

 

Tag :

Berita Terkait