PASUNDAN EKSPRES - Kabupaten Subang, yang terletak di provinsi Jawa Barat, mencakup luas sekitar 2.051,76 kilometer persegi, menyumbang sekitar 6,34 persen dari total luas wilayah Jawa Barat.
Selain dikenal sebagai Kota Nanas karena produksi nanas yang melimpah, wilayah ini juga memiliki sejarah yang kaya yang layak untuk dijelajahi.
Versi Asal Nama Subang
Terdapat beberapa versi menarik mengenai asal usul nama Subang, seperti yang terdokumentasikan dalam situs resmi Kemdikbud, yang mengambil akar dari cerita rakyat lokal.
Cerita Subanglarang
Salah satu versi menyatakan bahwa nama "Subang" berasal dari nama seorang wanita dalam Babad Siliwangi, yaitu Subangkarancang atau Subanglarang, seperti yang didokumentasikan dalam Babad Pajajaran.
Kisah tersebut menceritakan tentang keberadaan seorang santriwati bernama Subanglarang di pesantren di Karawang yang dipimpin oleh Syeh Datuk Quro.
Pekerja Perkebunan dari Kuningan
Versi lain berasal dari kehadiran pekerja perkebunan dari daerah Kuningan yang mendirikan pemukiman di wilayah Subang saat ini.
Para pendatang ini membentuk pemukiman yang dikenal sebagai Babakan atau Kampung Subang.
Asal dari Suweng dan Kubangan Badak
Ada juga yang mengaitkan nama "Subang" dengan kata "Suweng" atau "kubang", dengan asumsi bahwa pelafalan atau pengucapan yang tidak jelas dari dua kata tersebut menjadi akar dari nama wilayah ini.
Tulisan De Haan
Sebuah versi lainnya berasal dari tulisan De Haan, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada abad ke-17, yang mencatat peristiwa sejarah terkait wilayah Subang.
Sejarah Kabupaten Subang
Menurut situs resmi Kabupaten Subang, telah terdokumentasi bahwa wilayah ini telah dihuni oleh masyarakat sejak masa prasejarah.
Bukti-bukti penemuan artefak seperti kapak batu neolitikum di daerah Bojongkeding (Binong), Kalijati, Dayeuhkolot (Sagalaherang), dan Pagaden, menandakan keberadaan masyarakat dengan pola hidup yang didasarkan pada pertanian sederhana.
Selain itu, penemuan situs Kampung Engkel di Sagalaherang juga menjadi bukti perkembangan kebudayaan perunggu di Subang.
Wilayah Subang diakui sebagai bagian dari kekuasaan tiga kerajaan Hindu utama, yaitu Galuh, Pajajaran, dan Tarumanegara. Hal ini diperkuat oleh temuan pecahan keramik Cina di Patenggeng (Kalijati), mencerminkan hubungan perdagangan dengan kerajaan pada abad ke-7 dan ke-15.
Kerajaan Sunda juga memegang kendali atas Subang, seperti yang disampaikan oleh Tome' Pires dari Portugis dalam penjelajahannya di sepanjang pantai utara Jawa.
Dia mencatat bahwa wilayah timur Sungai Cimanuk hingga Banten merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Sunda.
Subang juga menjadi pusat kegiatan kebudayaan Islam. Pada tahun 1539, Wangsa Goparana, tokoh Islam dari Talaga, Majalengka, mendirikan pemukiman di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam di wilayah Subang.
Selama periode kolonialisme, wilayah utara Subang menjadi jalur logistik penting bagi pasukan Sultan Agung dari Mataram dalam kampanye mereka melawan Belanda di Batavia.
Beberapa pasukan Sultan Agung bahkan menetap di Subang setelah mengalami kegagalan dalam serangan tersebut, menyebarkan budaya Jawa di wilayah tersebut.
Sejak tahun 1771, wilayah Subang, khususnya di Pamanukan, Pagaden, dan Ciasem, telah diperintah oleh seorang Bupati secara turun-temurun.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816), hak kepemilikan tanah di Subang diberikan kepada pihak swasta dari Eropa, yang mengawali era perusahaan P&T Land pada tahun 1812.
Kemudian, kendali atas luas tanah seluas 212.900 hektar tersebut berpindah ke tangan pemerintah Kolonial Belanda.
Pemerintah Belanda kemudian membentuk distrik-distrik untuk mengelola wilayah onderdistrik, dengan wilayah Subang diperintah oleh seorang Kontrolir BB (Binnenlands Bestuur).
(hil/hil)