Daerah

Pojokan 204: Sekali-kalinya Hidup

Pojokan 204: Sekali-kalinya Hidup

Sekali-kalinya hidup, harus ada manfaatnya. Entah manfaat untuk diri sendiri atau keluarga. Syukur untuk kehidupan.

Tak membuat susah orang lain, itu juga sudah manfaat. Orang yang sudah mati pun, ada yang masih bisa memberi manfaat. 

Itu yang disebut hidup kekal. Bukan jasadnya, tapi kebermanfaatan atas namanya, untuk orang lain dan kehidupan. 

Banyak juga yang sudah mati pun, bisa membuat susah orang hidup.

Tak baik juga hidup hanya untuk manfaat sendiri. Mengejar kesenangan dan kesejahteraan sendiri. 

Sebab manusia bukan sekumpulan hewan, yang hanya memenuhi kebutuhan perut dan sahwat. 

Hewan saja ada yang memberi manfaat untuk sesamanya dan manusia.

Tak juga bisa disamakan antara manusia dengan hewan. Sebab manusia lebih tinggi derajatnya dari semua makhluk. 

Walau banyak juga manusia yang perilakunya tak jauh beda dengan hewan. 

Buas dan tak pandang perikemanusiaan. Entah dari mana itu sifat diturunkan. 

Padahal genetitasnya, tak ada manusia yang berasal dari hewan. Kecuali penganut Darwinisme. 

Namun sifat hewani selalu ada pada setiap manusia. Termasuk kita. 

Ah, pantas Eka Kurniawan merangkai novel Lelaki Harimau. Toh selalu saja ada sifat kebuasan dan keserakahan dalam diri manusia.

Soal kebuasaan tentu tak ada manfaatnya sedikitpun. Jauh-jauh lah dari sifat itu. 

Lagi pula ada  sifat yang bisa dipelihara dalam diri. Seperti halnya hewan atau tanaman peliharaan.

Yang patut dipelihara itu adalah pikiran sehat. Pikiran itu juga  tak ubahnya peliharaan. Butuh dirawat dan diberi asupan yang bagus. 

Halnya peliharaan, baik hewan atau tumbuhan. Pikiran yang dirawat dengan asupan yang baik akan memberi manfaat untuk empunya.

Juga tanah pijakan tempat tumbuh dan berkembang pikiran, memberi dampak pula. 

Jadi soal hidup yang manfaat, dimulai dari peliharan pikiran yang sehat. 

Dan galibnya peliharaan, selalu ada hama. Hama dari pikiran adalah orientasi pemenuhan segala ego dan alter ego. 

Dijaman simulacra, alter ego terwadahi dalam gemerlap media sosial (medsos) di dunia maya.

Menjadikan peliharaan  berkembang biak, tak terurus. Menggurita menjadi adiksi keakuan dan ke up date-an. 

Menggugurkan sabda Romo Descartes, “Aku berpikir, maka aku ada”. Tertumbuk pada hastag, follow, like, subscribe, share, fyp (for your page), komen, dan emoticon palsu.

Bertumpu pada anggitan “up date status dan komen, maka aku ada”. Dan Descartes pun terkapar dipojokan.

Tak peduli status atau komen itu manfaat atau tidak! Membahayakan atau tidak!

Seolah komentar itu adalah hewan liar yang sesukanya menghajar dan atau membela. 

Di dunia maya, status dan komen adalah asupan untuk alter ego. 

Faktanya banyak asupan itu hanya menjadi sampah- Hoaxs. Menumpulkan kepekaan nurani. (Kang Marbawi, 030624)

 

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua