Nasional

Kenapa Awal Ramadhan NU dan Muhamadiyah Selalu Berbeda?

Kenapa Awal Ramadhan NU dan Muhamadiyah Selalu Berbeda?

PASUNDAN EKSPRES- Tahun ini, awal puasa Ramadan jatuh pada hari Selasa, tanggal 12 Maret 2024. Menyambut Ramadan, penentuan kapan tepatnya memulai puasa pertama dan mengakhiri lebaran sering menjadi perdebatan yang membingungkan.

Di tengah kompleksitas ini, kita sering mendengar istilah "mencari Hilal" atau "melihat Hilal." Hilal, dalam konteks Islam, adalah bulan sabit pertama yang terlihat setelah bulan baru.

Pentingnya Hilal tak terbatas pada penanda awal bulan Ramadan saja, melainkan juga awal bulan Syawal yang menandai berakhirnya bulan puasa.

Pengamatan Hilal menjadi kunci dalam menentukan awal bulan dalam kalender Islam, memiliki makna penting karena disokong oleh sabda Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam yang mendorong umat untuk berpuasa setelah melihat Hilal.

Ramadan dianggap sebagai waktu berkah bagi umat Islam, di mana kesempatan untuk mendalamkan ketakwaan dan mendekatkan diri kepada Allah diberikan melalui ibadah dan pengendalian diri.

Oleh karena itu, penentuan awal bulan menjadi bagian penting dalam menjaga kesatuan umat Islam, mengatur ibadah yang serupa di seluruh dunia, dan merencanakan perayaan dengan lebih baik.

Namun, perdebatan muncul terutama terkait dengan metode penentuan yang digunakan oleh dua organisasi besar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Keduanya menggunakan metode hisab, namun perbedaan terletak pada pendekatan dan aplikasi metode tersebut. NU menggunakan metode rukyatul Hilal (pengamatan langsung), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (perhitungan matematis).

Perbedaan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara dengan populasi Muslim yang besar di seluruh dunia.

Metode penentuan ini memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Rukyatul Hilal melibatkan pengamatan langsung terhadap bulan baru dengan syarat tertentu, sementara hisab menggunakan perhitungan matematis yang memberikan kepastian dan akurasi lebih tinggi.

Meskipun terjadi perbedaan, penting diingat bahwa dalam Islam, perbedaan itu adalah hal yang wajar dan tak boleh ditolak sampai ada kesepakatan yang dapat diterima oleh otoritas Muslim di seluruh dunia.

Oleh karena itu, sibuk bertengkar atas perbedaan tersebut justru dapat mengaburkan fokus pada ibadah yang seharusnya menjadi prioritas.

Masing-masing metode memiliki para pendukungnya, dan saran dari ulama terkemuka menunjukkan bahwa keduanya sah asalkan sesuai dengan konsensus atau kesepakatan yang diakui secara luas.

Yang terpenting, semangat berpuasa dan merayakan Idul Fitri harus tetap terjaga di tengah perbedaan ini. Sebagai umat Islam, kita diingatkan untuk menjaga kebersamaan dan persatuan, memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan umat Islam.

Dengan demikian, apapun metode yang diikuti, yang terpenting adalah menjalani ibadah dengan sepenuh hati, menjaga keutuhan umat, dan merayakan momen berkah bulan Ramadan dengan kebaikan dan kedamaian.

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua