Opini

Pojokan 236: Xenia

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

“Anda diterima di sini”.  Nyaman sekali membaca atau mendengar kalimat seperti itu. Walau tak ada hubungan darah, sanak-famili, ras, suku, agama, atau kepentingan hatta politik, kalimat itu membuat orang betah dan kerasan untuk tinggal dan bercengkrama. Keberterimaan oleh lingkungan dan sesama yang tulus. 

Tapi rasanya, kata itu mulai luntur. Tereduksi oleh prasangka dan xenophobia. Sikap ketakukan berlebihan terhadap orang yang dianggap berbeda, asing, di luar kelompok  atau tidak dikenal. Melahirkan stereotip, dengan pandangan sinis dan benci. Jika tak segolongan, tak sesuku, tak seagama, tak sepemahaman, adalah musuh. Dan pantas dibenci, direndahkan bahkan dihinakan.

Gangguan ini, diidap oleh semua komunitas bahkan individu. Seolah lalat, patologi ini bisa nemplok dimana saja, tak kenal strata sosial, komunitas dan kelas.  Bahkan golongan strata sosial tinggi, pengidap akut penyakit ini. Kadang dipermanenkan dalam kebijakan.

Munculnya makhluk xenophobia, dimulai dari rasa diri “paling”. Tengok saja Hitler dengan semangat Nazi-nya yang menjunjung tinggi supremasi Kaum Arya atas suku lainnya.  Pembaca dapat membuka kembali lembaran sejarah semisal Hitler yang menjual supremasi kelompok atau individu di atas golongan lain.

Xenophobia juga bisa muncul dari rasa “takut” yang melahirkan curiga tak berdasar. Memandang orang lain atau sesuatu yang baru yang datang dengan rasa tak senang. Yang datang dan berbeda itu, dianggap akan mengganggu kepentingan pribadi/kelompok dan akan merubah sesuatu yang telah mapan. Ketakutan yang tak dilawan dengan dialog, tapi diwujudkan dengan sikap represif dan menolak orang lain.

Dibatasi oleh “ini aku, kamu bukan aku, bukan kelompokku. Maka kamu salah dan aku benci kamu”. Jauh dari kata “Kita” yang melebur semua perbedaan dan kepentingan. Yang ada justru adalah “Kami” yang bersebrangan dengan “Kamu”. Pada konteks sosial, “Kami” adalah pernyataan diri/kelompok yang berbeda dengan yang lain. Ada “Lian” yang dianggap berbeda dengan “Kami”.

“Anda diterima di sini” juga hadir dari musabab perilaku diri. Laku lampah yang menjunjung tinggi keadaban dan nilai kemanusiaan. Seperti halnya ajaran para leluhur. Keramahan adalah pintu Kebajikan. Memandang sesama dengan kasih, setara dan kesalingan.

Seperti juga Xenios Zeus, dewa keramahtamahan, yang mewajibkan hukum XENIA kepada setiap orang Yunani kuno. Xenia, semua orang asing yang datang harus dihadapi dengan keramahan dan diberi perlindungan. Dulu Xenia, menjadi ajaran hukum/adat istiadat yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia yang beradab. Entah didasari kepercayaan bahwa Zeus xenios, adalah sang dewa pelindung orang asing.

Keramahtamahan kepada orang asing yang datang adalah kewajiban moral yang berakar pada kemurahan hati, pertukaran hadiah dan kesalingan/timbal balik. Pun keramahan yang dimusabab laku orang asing yang rendah hati (xenos) dalam interaksi sosial.

Kini, ruang interaksi sosial kita telah bertiwikrama dalam kanal media sosial (medsos) Medsos menjadi wahana komunikasi maya yang massif tanpa batasan (boarder less). Melebur kan “Lian” atau “Kami” menjadi warga maya (natizen) yang tak mematuhi ajaran XENIA. Diksi “Kita” di medsos, sekarat. Tak ada keramahan di medsos.

Tengok laporan terbaru Digital Civility Index (DCI). DCI mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di medsos, semakin tinggi angkanya, tingkat kesopanan semakin buruk. Raport Netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara, alias paling tidak sopan, dengan skor 76.

Di medsos, kita rentan menjadi korban dan pelaku  penyebar hoaxs (berita bohong). Di medsos, xenophobia menjadi laku. Tapi kita harus tetap punya Xenia – keramahtamahan di medsos dan di dunia nyata. Ini bukan promosi merek mobil. (Kang Marbawi, 200125)

 

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua