Tradisi Larangan Menjual Padi di Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam sebagai Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Geografi Budaya

Tradisi Larangan Menjual Padi di Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam sebagai Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Geografi Budaya

Yulia Enshanty, M.Pd.

 Oleh : Yulia Enshanty, M.Pd

(Guru Geografi SMA di Kabupaten Sukabumi)

Kajian geografi tidak hanya mencakup aspek fisik seperti bentang alam, iklim, atau hidrologi, tetapi juga menyelidiki dimensi sosial dan budaya dalam interaksi manusia dengan ruang dan lingkungan. Masyarakat adat merupakan contoh nyata dari bagaimana nilai-nilai lokal terwujud dalam praktik sehari-hari yang berkaitan erat dengan pemanfaatan ruang, konservasi alam, serta strategi bertahan hidup.

Salah satu contoh penting terdapat pada masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu tradisi mereka yang menonjol adalah larangan menjual padi, yang mencerminkan perpaduan antara nilai kultural, spiritual, dan keberlanjutan lingkungan.

BACA JUGA: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2025 di Tingkat Kabupaten Subang

Praktik ini menunjukkan betapa pentingnya harmonisasi antara kehidupan sehari-hari dan pemeliharaan ekosistem, serta bagaimana masyarakat mampu mempertahankan identitas mereka sambil beradaptasi dengan tantangan zaman.

Dalam geografi budaya, simbol-simbol keagamaan dan kepercayaan masyarakat sering kali memainkan peran penting dalam struktur sosial dan perilaku ekologis komunitas lokal. Bagi masyarakat Kasepuhan Gelar Alam, padi bukan hanya sekadar bahan pangan, melainkan simbol kehidupan yang sakral. Padi dianggap sebagai titipan Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dan kesuburan dalam kosmologi Sunda.

Dalam tradisi ini, padi diperlakukan layaknya manusia, disemai dengan ritual khusus, disimpan di leuit (lumbung adat) yang dijaga kesuciannya, dan tidak boleh diperjualbelikan sembarangan. Ini menunjukkan adanya pandangan dunia yang melihat alam bukan sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai mitra hidup yang harus dihormati.

Larangan menjual padi mencerminkan penghormatan terhadap kesakralan padi sebagai pemberian ilahi yang tidak boleh dikomersialisasikan secara sembarangan.

BACA JUGA: Krisis Identitas di Era Media Sosial: Analisis Tahap Psikososial Remaja Menurut Erik Erikson

Kisah Nyi Pohaci Sanghyang Sri berakar dari tradisi agraris masyarakat Sunda yang berkembang secara turun-temurun. Dalam pendekatan geografi sejarah, kisah ini dapat dipahami sebagai bentuk narasi ekologis kolektif masyarakat yang mencerminkan adaptasi terhadap kondisi geografis di wilayah pegunungan dan lereng Gunung Halimun.

Pengetahuan tentang waktu tanam, jenis benih, serta sistem pembagian hasil panen diwariskan secara lisan dan melalui praktik budaya seperti seren taun (upacara panen). Ritual ini merupakan bentuk pemetaan waktu dan ruang agraris dalam sistem sosial masyarakat Kasepuhan.

Dengan demikian, kisah mitologis Nyi Pohaci bukan hanya cerita, melainkan juga peta mental yang membentuk cara berpikir dan bertindak masyarakat dalam mengelola lingkungannya.

Larangan menjual padi memainkan peran penting dalam menciptakan ketahanan pangan berbasis lokal. Masyarakat Kasepuhan Gelar Alam hanya menanam padi untuk kebutuhan konsumsi internal komunitas.

Dengan tidak menjual padi, mereka memastikan bahwa persediaan pangan untuk keluarga dan komunitas tetap aman, terutama saat masa paceklik atau jika terjadi kegagalan panen.

Dalam konteks geografi pangan, ini merupakan bentuk ketahanan pangan subsisten yang tidak bergantung pada pasar luar, tetapi pada kemampuan komunitas untuk mengelola sumber daya sendiri.

Larangan ini juga berfungsi sebagai sistem penyangga terhadap kerentanan ekonomi dan krisis pangan global, di mana harga pangan sering kali berfluktuasi akibat faktor eksternal.

Strategi ini meminimalkan risiko kerawanan pangan, menjadikan komunitas lebih resilien dalam menghadapi dinamika ekonomi dan perubahan iklim.


Berita Terkini