Transformasi Pendidikan Matematika: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Oleh: Ika Wahyu Anita, M.Pd.,
Dosen di IKIP Siliwangi dan Mahasiswa S3 UPI
“Mengapa pelajar sekarang semakin enggan berpikir keras bahkan menyerah sebelum mencoba?”. Pertanyaan ini berkali-kali muncul di kepala saya. Ada yang berubah — dan tidak semuanya baik — dalam cara siswa memandang dan mempelajari matematika hari ini. Bukan hanya keengganan untuk berpikir bagaimana memecahkan soal-soal matematika – bahkan yang paling sederhana sekalipun-, tetapi juga tidak tahu pengetahuan dasar matematika.
Pandemi COVID-19 telah menjadi babak sejarah yang mengubah wajah pendidikan. Kita semua dipaksa beradaptasi dalam waktu singkat: kelas dipindahkan ke layar, tatap muka digantikan oleh video call, papan tulis berganti menjadi fitur share screen. Guru mengajar dari rumah, anak-anak belajar ditemani gadget, orang tua dituntut menjadi pengawas agar rumah menjadi tempat yang kondusif layaknya di sekolah dan sinyal menjadi penentu nasib.
BACA JUGA: Efek Cantik Kamera Perbankan
Namun, hal ini ternyata menyisakan lebih dari sekadar kesenjangan teknologi. Ia juga meninggalkan luka kognitif — terutama dalam pelajaran matematika, yang menuntut fokus, keteraturan berpikir, dan latihan berkelanjutan. Hasilnya, kemampuan matematis siswa disemua jenjang pendidikan justru mengalami penurunan.
Data nasional menunjukkan penurunan signifikan dalam kemampuan literasi dan numerasi siswa sekolah. Tak sedikit hasil evaluasi menyiratkan bahwa konsep-konsep dasar mulai kabur dari ingatan siswa. Namun, apakah pandemi satu-satunya tersangka? Atau justru kita yang luput membaca arah perubahan?
Pandemi hanya menjadi awal mula. Pembelajaran jarak jauh dengan segala kebutuhan perangkat keras dan lunak, menuntut percepatan perkembangan teknologi digital. Sayangnya, bukan hanya perangkat belajar yang tumbuh, tetapi juga distraksi: media sosial, video pendek, dan budaya instan ini mempengaruhi pola pikir dan mental anak-anak Indonesia.
Sebagai dosen matematika, saya melihat dampak lanjutan dari fenomena ini langsung di ruang kuliah. Mahasiswa baru datang dengan kondisi kurang memahami materi dasar yang seharusnya telah dikuasai di jenjang sebelumnya. Padahal mereka adalah anak-anak cerdas, kreatif, dan penuh potensi, tetapi membawa bekal konseptual dan prosedural yang timpang. Mereka tahu cara menggunakan aplikasi presentasi, tetapi ragu menjawab bagaimana bentuk persamaan kuadrat. Mereka akrab dengan dunia digital, tetapi jauh dari keakraban dengan simbol-simbol matematika.
BACA JUGA: Pojokan 256: Biwar
Transformasi pendidikan matematika seharusnya lebih dari sekadar memasukkan gawai ke dalam ruang kelas atau menambahkan aplikasi belajar di ponsel siswa. Transformasi sejati adalah soal perubahan paradigma: dari mengajar sebagai proses menyampaikan, menjadi mengajar sebagai proses membangun pemahaman. Dari mengejar nilai, menjadi membentuk kecakapan berpikir.
Pertanyaannya kini mengerucut: siapa yang bertanggung jawab? Dan jawaban yang jujur adalah: semua pihak memiliki andil. Tapi barangkali, sebagai pendidik, kitalah yang paling punya kuasa untuk mengubahnya. Transformasi bukan hanya soal mengganti metode pembelajaran dengan platform digital atau memperkenalkan AI ke dalam kelas. Transformasi sejati adalah upaya sadar untuk mengembalikan makna berpikir dalam belajar matematika.
Transformasi bukan proyek jangka pendek. Ia adalah perjuangan kolektif untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya bisa menghitung, tetapi juga mampu berpikir. Sebab di dunia yang penuh ketidakpastian ini, kemampuan bernalar jauh lebih penting dari sekadar mencari jawaban.
Kurikulum boleh berubah, teknologi boleh hadir, tapi esensi belajar harus tetap sama. Guru perlu didorong untuk tidak sekadar mengejar ketuntasan materi, melainkan juga membentuk karakter problem solving. Kampus juga harus merevisi pendekatan pembelajarannya — menghubungkan antara teori dan praktik, serta memberikan ruang refleksi bagi mahasiswa untuk memahami mengapa dan bagaimana suatu konsep bekerja.
Kini, saat dunia perlahan normal, barangkali inilah saatnya untuk tidak hanya memulihkan, tetapi juga merombak. Menata ulang cara kita memandang matematika, tidak sebagai beban hafalan, tetapi sebagai seni berpikir. Menumbuhkan kembali semangat belajar di antara siswa, bukan lewat hukuman tugas yang berat, tetapi lewat rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba.
Transformasi tidak lahir dari perubahan besar dalam semalam. Ia dimulai dari refleksi, dari ketulusan untuk bertanya: Apa yang sungguh ingin kita wariskan pada generasi mendatang?
Sebab pada akhirnya, tanggung jawab atas masa depan pendidikan matematika bukan hanya milik satu profesi, satu lembaga, atau satu generasi. Ia adalah tugas kolektif siapapun yang peduli pada masa depan anak-anak bangsa.(*)