Gusti…
Haruskah dengan melihat Ka’bah untuk bisa mencucurkan air mata
Atau harus berpanas-panas di Arofah
Atau harus di Multazam, Raudhah untuk bisa tulus merenungi segala noda diri
Atau karena memang tempat-tempat itu dimuliakan
Hingga siapapun akan bergetar hati
Tuhan…
Susah sekali, mata ini mengeluarkan kekayaannya
Atau karena memang
Penglihatan manusia bergantung pada suasana hatinya
Jika memang demikian, aku tahu diri
Penglihatanku adalah keserakahan, kesewenangan dan syahwat
Sebab itu dorongan naluri dari hati
Gusti…
Mata ini kering dari air mata, mata air nurani
Hingga berkali sujud dan menadahkan tangan pun
Tak pernah menyentuh relung jiwa
Munajat ini hanya untuk memenuhi syahwat
Bukan untuk kebeningan diri
Padahal air mata adalah pelumas jiwa
Mata ini tak memberikan getaran kepekaan kemanusiaan
Oh Sanghyang Widi
Oh Tian
Duh Pangeran yang murbeng alam
Nurani ini telah bebal dengan rasa kemanusiaan
Rasa yang terlindas dengan kejaran hedonis
Membutakan mata nurani
Melahirkan sifat hewani
Dan buas
Air mata tak pernah ada lagi
Karena nama Mu tak pernah sungguh-sungguh diingat dan ada di hati
Nama Mu dilafal hanya untuk kepentingan diri
Atau hanya untuk egoism kebenaran sepihak
Dan memandang yang lain tak pantas ada dalam barisan nama Mu
Hingga layak untuk diberangus, disingkirkan dan dibuang
Nama Mu tak diucap
Pada keserakahan laku lampah-
Lupa melupakan
Tidak untuk ketakkemanusiawian dan ketakadilan
Tuhan…
Duhai Gusti…
Nama Mu selalu disebut
Untuk mengikat uang dan kekuasaan
Dan untuk rumbainya kadang tak malu bercucur air mata
Untuk meminta itu kepada Mu dan kepada manusia
Gusti…
Walau tak melihat Ka’bah, Multazam, Arofah, Raudhah, Fatikan, atau apapun tempat suci
Biarkan air mata ini berguguran
Untuk membasuh kebebalan nurani
Untuk mengasah kepekaan
Untuk melepas keterikatan
Juga syahwat
Dan izinkan Gusti
Air mata ini jatuh, untuk menyentuh ridha Mu
Atas lakon ku
(Kang Marbawi 220624)