Opini

Pojokan 210: Kalau saja

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Kalau saja aku jadi penguasa, tentu saja aku bukan pelayan. Sebab konon katanya, jadi penguasa itu enak. Bisa dapat apa pun, bisa menentukan nasib orang. Demi mempertontonkan kekuasaan, maka harus terlihat beringas dan tiran. Siapapun harus tunduk, tegak-lurus padanya. Bahkan hukum pun bisa diatur. 

Umpamanya aku jadi pejabat, tentu aku tak jadi bawahan. Hikayatnya pejabat itu selalu dilayani dan harus jaim. Sementara bawahan, harus loyal dan menggut-menggut apa kata dan mau atasan. Tingkat yang lebih parah dari bawahan adalah kelas jongos.  Ini jika penguasa dan pejabatnya semena-mena.Hingga hilang kewajaran dan kepatutan hidup.  Padahal wajar dan kewajaran serta kepatutan sesuai akal sehat dan nurani, jangan sampai hilang. 

Andai kata, penguasa, pejabat dan kita punya kepekaan, tentu tidak beringas bin buas atau tamak. Soal kepekaan ini, mulai hilang dari diri kita semua. Kepekaan melalui rasa gelisah melihat, mendengar dan merasa ketika ada ketimpangan. Kepekaan melalui rasa malu ketika berbuat tak patut. Kepekaan melalui rasa marah bila ada ketidakadilan dan kedaulatan diri dan bangsa dijual. Ini pelajaran keempat sampai ke enam, jika jadi penguasa atau pejabat. Melayani, tidak semena-mena dan peka terhadap persoalan. Dan memang tidak ada pelajarannya. 

Nah pelajaran pertama sampai ke tiga apa?

Anda bisa baca ratusan buku tentang merebut kekuasaan dan tips sederhana jadi pejabat. Boleh merujuk kepada Nicolo Machiavelli atau mencontoh tiran dan rezim dalam sejarah. Itulah gunanya sejarah, menjadi pelajaran, rujukan dan teladan. Yang baik dan yang buruk. Atau bisa juga ikut sekolah atau kursus-kursus yang diadakan partai-partai politik. 

Lalu apa pelajaran di sekolah formal atau non formal untuk masyarakat? Yang ini bisa tanya sama Mas Menteri (Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) atau Gus Men (Yaqut Cholil Qaumas-Menteri Agama). Konon ada kurikulum nasional yang memerdekakan siswa dan gurunya.

Kembali ke soal pelajaran ke empat sampai ke enam. Seharusnya soal melayani, tak semena-mena dan kepekaan ini, masuk dalam kurikulum formal dan non formal di sekolah. Sebab, semua dari kita, selalu memiliki cita untuk jadi penguasa atau pejabat. Sesuai dengan levelnya. 

Entah jadi penguasa rumah tangga, RT-RW (Rukun Tetangga-Warga), teman, bawahan kantor, pasar, sungai, lahan, gunung, segala tambang, dan tentu jadi penguasa negeri ini.  Bahkan termasuk penguasa emperan toko dan parkiran. Semua itu bergantung siapa bergaul dengan siapa. Sebab pergaulan memberi corak terhadap warna keinginan dan laku lampah. Gaul sama penguasa, tentu ingin kecipratan jadi penguasa di bawahnya.

Apapun dan dimanapun sekolahnya atau bahkan tidak sekolahpun, hasrat jadi penguasa tetap ada. Celakanya, setiap dari diri kita tak pernah betul-betul jadi penguasa. Selalu saja ada penguasa-penguasa di atas kita. 

Bawahan dikuasai atasan. Atasan dikuasai yang nunjuk atasan jadi atasan. Yang nunjuk atasan dikuasai oleh pemilik modal. Pemilik modal dikuasai penguasa rezim. Penguasa rezim dikuasai untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan jika perlu, mengorbankan kedaulatan dan rakyat pun dilakukan. 

Suami dikuasai istri, istri dikuasai kumpulan arisan. Kumpulan arisan dikuasai marketing segala produk. Segala produk jasa dan barang dikuasai kepentingan pejabat. Pejabat dikuasai simpanan. Simpanan dikuasai ketakutan. Hingga harus melapor ke dewan kehormatan. Hingga menyungkurkan pejabat jadi bukan siapa-siapa dan serendah-rendahnya kehormatan serta harga diri.  

Anggota partai dikuasai oleh pengurus partai. Pengurus partai dikuasai oleh ketua partai, ketua partai dikuasai oleh kepentingan partai. Kepentingan partai dikuasai oleh dan ditujukan untuk merebut kekuasaan tertinggi. Jadi presiden, menteri, gubernur, wali kota, atau jadi apapun yang menguntungkan dan bisa menguasai segala.

Atau contoh lain warga dikuasai oleh RT, RT dikuasai oleh RW, RW dikuasai oleh lurah/kuwu. Kuwu dikuasai oleh camat. Camat dikuasai oleh bupati/walikota. Walikota/bupati dikuasai oleh gubernur. Gubernur dikuasai oleh presiden.  

Presiden atau gubernur atau walikota/bupati dikuasai oleh siapa? Seharusnya oleh konstitusi dan hukum. Faktanya? Dikuasai oleh negosiasi kekuasaan/kepentingan partai dan patron.

Nah kita sebagai rakyat menguasai siapa dan apa? Atau hanya untuk dikuasai atau hanya jadi komoditas disetiap perhelatan lima tahunan? Atau cukup nerimo jadi pelayan penguasa. Bukan penguasa yang jadi pelayan rakyat dan konstitusi. Entah ada apa tidak? (Kang Marbawi, 130724)

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua