Daerah

Agus, Perajin Carangka Asal Subang Berjuang Melawan Gempuran Produk Plastik

Perajin Carangka Asal Subang
TRADISIONAL: Agus, seorang perajin carangka yang telah menggeluti profesinya sejak tahun 1985, menceritakan perjalanan panjangnya dalam mempertahankan kerajinan tradisional di tengah gempuran produk plastik. (hadi martadinata/pasundan ekspres)

SUBANG-Agus, seorang perajin carangka yang telah menggeluti profesinya sejak tahun 1985, menceritakan perjalanan panjangnya dalam mempertahankan kerajinan tradisional di tengah gempuran produk plastik. 

Berlokasi di Desa Dayeuh Kolot, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang, Agus dengan tekun membuat carangka—sejenis anyaman bambu yang digunakan untuk berbagai keperluan, dari pengangkut hasil pertanian hingga tempat sampah.

Agus mulai membuat carangka sejak ia masih bujang. Ia menggunakan alat-alat sederhana seperti golok,  gergaji, bambu, dan tali. Proses pembuatan carangka dimulai dengan memotong bambu sepanjang 1,2 meter. Setelah itu, bambu diraut dan dianyam hingga menjadi carangka yang siap digunakan. Dalam satu jam, Agus dapat menyelesaikan satu carangka.

"Saya bisa mengayam 10 carangka dalam sehari," ujarnya dengan bangga. 

Meski begitu, prosesnya tidak selalu mudah. Kendala utama yang dihadapi Agus adalah pemasaran produknya. Penjualan carangka tradisional sangat bergantung pada musim dan permintaan pasar yang fluktuatif. Agus mengatakan, dalam sebulan kadang hanya mendapatkan satu pesanan, dan kadang tidak ada sama sekali.

Persaingan dengan produk plastik merupakan tantangan terbesar bagi Agus. Carangka plastik, yang lebih murah dan dianggap lebih praktis, semakin mendominasi pasar. 

Hal ini berdampak signifikan pada penjualan carangka bambu buatan Agus. "Dulu Pak Ateng sempat mengajak saya ke Cikole untuk melihat pembuatan carangka plastik yang bisa diproduksi massal dalam sehari. Sekarang, pemasaran carangka tradisional terputus karena semua beralih ke plastik," keluh Agus.

Agus menjelaskan, ada tiga jenis carangka yang biasa dibuat. Yakni carangka besar, carangka kecil, dan carangka kapalang. Carangka besar biasanya digunakan sebagai tempat sampah, sementara carangka kecil lebih sering digunakan untuk bonsai atau keperluan lainnya. Harga carangka bervariasi tergantung ukuran dan jenisnya, mulai dari 30 ribu hingga 60 ribu rupiah per pasang.

"Daya tahan carangka tergantung pada penggunaan. Jika digunakan untuk menampung sampah, carangka bisa bertahan paling lama tiga minggu," tambah Agus.

Secara tradisional, permintaan carangka meningkat pada bulan-bulan tertentu. Pada bulan Januari, misalnya, carangka sering digunakan oleh peternak sapi, sementara pada bulan April, permintaan datang dari Pemerintah Daerah Subang. Namun, permintaan ini tidak konsisten dan sering kali terganggu oleh preferensi konsumen yang beralih ke produk plastik.

Meskipun menghadapi banyak tantangan, Agus tetap berusaha mempertahankan kerajinan carangka tradisional. Ia berharap kesadaran akan pentingnya produk ramah lingkungan akan kembali meningkat, sehingga carangka bambu dapat kembali diminati. 

"Alat-alat tradisional memang lebih ribet, tapi carangka bambu lebih ramah lingkungan dibandingkan plastik," katanya.

Agus berharap ada dukungan dari pemerintah atau organisasi non-pemerintah yang peduli terhadap pelestarian budaya dan lingkungan. Dukungan tersebut bisa berupa pelatihan, bantuan pemasaran, atau bahkan program-program yang mempromosikan penggunaan produk ramah lingkungan.(hdi/ysp)

 

Berita Terkait