SUBANG-Pengamat Hukum, sekaligus Dosen STEINU Subang, Sadath M. Nur, SHI., MH, memberikan pandangan terhadap kasus pengeroyokan maling ayam hingga tewas yang terjadi di Kampung Rancamanggung, Kecamatan Tanjungsiang beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan secara yuridis, perbuatan para pelaku memenuhi unsur delik dalam Pasal 170 ayat (3) KUHP, yakni melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang yang mengakibatkan matinya orang tersebut.
"Tindakan tersebut merupakan kejahatan serius terhadap nyawa dan hak asasi manusia," ucapnya.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, Pasal 170 ayat (3) KUHP secara tegas menyatakan bahwa jika kekerasan bersama mengakibatkan kematian, pelakunya dapat dipidana penjara hingga 12 tahun. Fakta adanya tindakan kekerasan kolektif yang mengakibatkan korban tewas menguatkan unsur delik ini.
"Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap dugaan tindak pidana diselesaikan melalui mekanisme hukum yang sah, dengan menjamin hak-hak tersangka untuk diperiksa secara adil. Main hakim sendiri mengingkari asas praduga tak bersalah dan melemahkan fungsi institusi hukum," ucapnya.
Sadath bilang tindakan main hakim sendiri tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Praktik ini berpotensi menjadi preseden buruk dan merusak ketertiban umum.
"Tindakan tersebut melanggar hak untuk hidup yang dilindungi oleh Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan, serta Pasal 33 dan 34 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang melarang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi," ucapnya.
Ia melanjutkan, lebih dari itu, tindakan main hakim sendiri merupakan pelanggaran terhadap asas due process of law, yaitu prinsip bahwa setiap orang berhak untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh lembaga yang sah melalui prosedur hukum yang adil dan imparsial.
Dalam perspektif hukum pidana modern, penerapan hukum pidana seharusnya merupakan ultimum remedium, yakni sarana terakhir dalam penyelesaian konflik hukum. Hal ini membuka ruang bagi pendekatan alternatif seperti Restorative Justice, yang menekankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat melalui dialog dan penyelesaian yang adil dan manusiawi.
Namun demikian, pendekatan ini hanya dapat diterapkan jika perbuatan pidana tidak mengandung kekerasan berat atau tidak menyebabkan korban jiwa. Dalam kasus Subang, kekerasan yang berujung pada kematian jelas tidak memenuhi syarat penerapan restorative justice dan harus diselesaikan melalui proses hukum yang tegas.
Pada sudut pandang yang lain, fenomena main hakim sendiri juga mencerminkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
"Ketika hukum dianggap tidak mampu memberikan rasa keadilan, sebagian masyarakat cenderung mengambil tindakan sendiri yang justru memperburuk keadaan dan melanggar hukum itu sendiri," ucapnya.
Meskipun demikian, Sadath mengatakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok warga terhadap korban, hingga menyebabkan kematian, tetap merupakan pelanggaran hukum berat yang tidak dapat ditoleransi dalam sistem hukum Indonesia.
"Negara harus hadir dan bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan tersebut demi menegakkan keadilan, menjamin kepastian hukum, dan melindungi hak asasi setiap warga negara," ucapnya.
Dirinya juga mengatakan selain penegakan hukum secara represif, dibutuhkan langkah strategis berupa reformasi hukum, peningkatan kualitas pelayanan keadilan, serta pendekatan sosial yang bersifat edukatif dan partisipatif dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Hanya dengan demikian, praktik main hakim sendiri dapat dicegah, dan nilai-nilai keadilan yang substantif dapat ditegakkan secara bermartabat.(fsh)