SUBANG-Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengusulkan vasektomi sebagai salah satu syarat penerima bantuan sosial (bansos) menuai beragam tanggapan. Salah satunya dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, dr Maxi.
Dokter Maxi menyatakan, kebijakan tersebut perlu dikaji secara menyeluruh agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
“Kebijakan ini menurut saya bagus, tapi harus dilihat dari berbagai aspek. Masyarakat kecil itu beragam, dari yang tua sampai yang muda, dan tidak semuanya bisa dipukul rata. Ada yang miskin, ada yang belum menikah, ada yang belum memiliki anak, dan sebagainya,” ujar dr. Maxi.
Menurutnya, vasektomi sebaiknya hanya diperuntukkan bagi pria yang telah memiliki minimal dua anak dan sudah tidak berencana untuk menambah keturunan.
“Misalnya istrinya sudah steril atau keduanya memang sudah sepakat tidak ingin punya anak lagi. Pemerintah tidak bisa memaksa. Jadi tidak serta merta menjadi syarat wajib,” tambahnya.
Dia mengatakan, dari sisi medis, vasektomi merupakan salah satu metode kontrasepsi yang paling efektif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami prosedur ini secara benar.
“Secara teori, vasektomi tidak memiliki dampak negatif terhadap fungsi seksual pria. Justru sebagian laporan menyebutkan, bahwa kualitas hubungan bisa lebih baik karena tidak ada lagi kekhawatiran soal kehamilan,” jelasnya.
Ia menuturkan, edukasi dan sosialisasi terkait vasektomi perlu diperkuat sebelum kebijakan ini diimplementasikan lebih luas.
“Jangan sampai kebijakan baik ini justru disalahartikan atau menimbulkan resistensi karena kurangnya pemahaman,” katanya.
Potensi Melanggar HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga turut menyoriti wacana vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (Bansos).
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sugirao, menyebut Vasektomi sebagai bagian dari hak asasi, sehingga tidak bisa ditukar dengan bansos.
“Itu juga privasi ya, vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi, sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” ujarnya.
Atnike menjelaskan, pengukuman yang berhubungan denagn otoritas tubuh adalah hal yang ditenttang dalam diskursus HAM.
Oleh karena itu, wacana kebijakan Dedi Mulyadi terkait memaksa masyarakat mengikuti keluarga berencana (KB) sebagai syarat penerima bansos berpotensi melanggar hak asasi.
“Penghukuman saja enggak boleh, pidana dengan penghukuman badan yang seperti itu sebetulnya bagian yang ditentang di dalam diskursus hak asasi, apalagi itu dipertukarkan dengan bantuan sosial. Itu otoritas tubuh, ya. Pemaksaan KB saja itu ‘kan pelanggaran HAM,” kata dia.
MUI: Vasektomi Haram
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat menegaskan, KB vasektomi atau sterilisasi pada pria sangat dilarang atau haram.
Seperti diungkapkan Ketua MUI Jabar, Rahmat Syafei beberapa waktu lalu. “Tidak boleh bertentangan dengan syariat, pada intinya vasektomi itu haram,” ujarnya, dikutip Sabtu (3/5/2025).
Hal itu, lanjut dia, sebagaimana Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang digelar di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012 lalu.
Selain itu, kata dia, KB vasektomi haram dalam pandangan Islam karena dianggap sebagai tindakan pemandulan yang permanen dan menyalahi syariat Islam.
Namun demikian, ia juga mengungkapkan bahwa terdapat pengecualian bagi yang memiliki alasan syar’i seperti sakit dan sejenisnya.
Kemudian, KB vasektomi juga boleh dilakukan jika seoranh pria telah memiliki anak minimal dua, usia minimal 35 tahun, anak terkecil berusia minimal lima tahun, dan mendapatkan persetujuan pasangan (istri).
Di sisi lain, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menyebut pihaknya berpedoman pada fatwa MUI tahun 2012 tentang Metode Operasi Pria (MOP) atau kontrasepsi (KB) vasektomi.
“Prinsipnya untuk vasektomi, Kemendukbangga/BKKBN berpedoman pada fatwa MUI tahun 2012,” ujar Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Wahidin kepada media di Jakarta.
Bantuan Sosial Agar Merata
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan mulai beasiswa hingga berbagai bantuan sosial dari provinsi.
Dedi di Bandung, Senin (28/4/2025), menyebut rencana tersebut bertujuan agar pemberian bantuan pemerintah, termasuk dari provinsi, lebih merata dan tidak terfokus pada satu pihak atau satu keluarga saja.
Seluruh bantuan pemerintah nanti, kata dia, akan diintegrasikan dengan KB.
“Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tetapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan nontunai keluarga dia, nanti uang negara mikul di satu keluarga,” ucapnya.
Dedi menekankan bahwa ke depan data penerima bantuan sosial harus terintegrasi dengan data kependudukan. Lebih spesifik lagi, dalam data kependudukan tersebut harus memuat data peserta KB, terutama KB laki-laki atau vasektomi.
“Jadi, ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek terlebih dahulu. Sudah ber-KB atau belum? Kalau sudah ber-KB, boleh terima bantuan. Jika belum ber-KB, KB dahulu. KB-nya harus KB laki-laki, KB pria. Ini serius,” katanya.(cdp/je/ysp)