Suporter Cinta Persikas: Dimarahi Gubernur Hingga Diamankan Polisi

KEBANGGAAN: Suporter Persikas Subang saat menyambut kedatangan tim Persikas Subang yang berhasil melaju ke Liga 2 Nasional, 04 Juni 2024 lalu.
LBH Bandung Menyoal Tindakan Aparat
SUBANG-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menanggapi 20 suporter Persikas yang diamankan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa dalam acara Nganjang ka Warga beberapa waktu lalu.
Mereka menyebutkan seharusnya Kepolisian melaksanakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 11 ayat (1) huruf a dan d, di mana polisi dilarang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum serta penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia.
Serta Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 yang menjelaskan bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
BACA JUGA: Subang Antisipasi Penyebaran Covid-19, Dinkes Perkuat Sistem Deteksi Dini
Lebih lanjut mereka menyebutkan, bahwa aksi pembentangan spanduk oleh suporter Persikas Subang dalam kegiatan publik merupakan bentuk sah dari hak berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005.
"Kedua instrumen HAM ini secara tegas menjamin kebebasan setiap individu untuk menyampaikan pikiran dan pendapat, termasuk melalui media spanduk atau bentuk ekspresi lainnya," tulis mereka dalam webiste resmi LBH Bandung.
Mereka juga mengatakan, selama tidak mengandung unsur kekerasan, ujaran kebencian, atau hasutan langsung yang mengancam keamanan, setiap warga negara berhak menyampaikan aspirasi, termasuk melalui spanduk, poster, atau bentuk ekspresi visual lainnya.
"Membatasi hal ini tanpa dasar hukum yang jelas justru bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dan perlindungan kebebasan sipil. Penangkapan terhadap suporter Persikas Subang berpotensi menciptakan iklim represif terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kepolisian seharusnya memprioritaskan pendekatan proporsional, bukan langsung melakukan kriminalisasi," tulis mereka.
BACA JUGA: Tugu Benteng Pancasila, Bantahan Subang Bukan Basis Komunis
Berangkat dari sana LBH Bandung pun menyatakan dengan tegas beberapa poin. Pertama, tindakan penangkapan terhadap 20 suporter adalah pelanggaran terhadap hak berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005.
Kedua, penangkapan dan pemaksaan memberikan keterangan terhadap 20 orang (3 orang diduga anak di bawah umur) adalah penangkapan sewenang-wenang atau ‘false arrest’ yang mana seharusnya polisi berpedoman pada aturan KUHAP;
Ketiga, polisi mengabaikan asas nesesitas, legalitas dan proporsionalitas dalam tindakannya yang bertentangan dengan Undang-Undang HAM dan Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian;
Keempat, Gubernur Dedi Mulyadi telah mencederai etika kepemimpinan dengan mempermalukan rakyat yang sedang menyampaikan pendapatnya. Sekaligus menunjukan praktik ‘abuse of power’ dengan dengan berbicara bahwa ia akan mencari tahu rumah dan sekolah dari para suporter. Seorang pemimpin yang takut dikritik bukanlah pemimpin rakyat, melainkan penguasa tiran;
Kelima, menuntut pemberian sanksi terhadap penangkapan dan proses hukum yang tidak berdasarkan aturan berlaku yang telah dilakukan oleh Polsek Ciasem dan Polres Subang.
"Penangkapan yang dilakukan tanpa adanya tuduhan jelas dan prosedur yang menyimpang dari aturan merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan juga sebuah bentuk penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh sebuah institusi negara. Sudah sepatutnya bentuk ekspresi dan pendapat dari seorang warga negara direspon dengan jawaban, bukan penahanan," tulis mereka.