Soal Kebijakan 50 Siswa dalam Satu Kelas, Kualitas Pendidikan Terancam Menurun

Soal Kebijakan 50 Siswa dalam Satu Kelas, Kualitas Pendidikan Terancam Menurun

MENGAJAR: Guru SMAN 4 Subang Andri Novi Lestari, S.TP., M.Pd ketika sedang mengajar para peserta didiknya.

Pasalnya, Keputusan Gubernur tersebut mengatur petunjuk teknis pencegahan anak putus sekolah jenjang menengah di Jawa Barat. Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah ketentuan penempatan maksimal 50 siswa per kelas, dengan mempertimbangkan luas ruang kelas.

Ketua Umum FKSS Jabar Ade D Hendriana mengatakan, aturan ini justru bermasalah karena tidak sesuai dan bertentangan dengan aturan Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023, yang menetapkan standar minimal 2 meter persegi per siswa. Dengan standar itu, ruang kelas harus seluas 100 m² untuk menampung 50 siswa. "Faktanya, banyak sekolah negeri di Jawa Barat hanya memiliki ruang kelas berukuran 72 m² (9x8 meter)," ujar Ade.

Selain itu, kata dia, fasilitas di sekolah negeri  masih terbatas. Sekolah negeri di Jawa Barat rata-rata hanya punya 9–10 ruang kelas per angkatan. "Jika semua siswa diarahkan ke sekolah negeri, maka fasilitas akan kewalahan," ungkapnya.

Atas aturan itu, lanjut Ade, berdampak pada sekolah swasta yang semakin tersisihkan. Banyak sekolah swasta yang selama ini berkontribusi mencegah anak putus sekolah. "Dengan aturan ini, mereka terancam kekurangan siswa dan bisa tutup," ujarnya.

Ade menambahkan, Keputusan Gubernur juga mengancam mutu pendidikan. Hal ini lantaran bakal terjadi penumpukan siswa di sekolah negeri. "Dikhawatirkan ini akan menurunkan kualitas pendidikan karena ruang dan tenaga pendidik terbatas," bebernya.

Lebih lanjut Ade menjelaskan, dampak lainya ialah banyak guru dan pegawai di sekolah swasta terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Termasuk guru bersertifikasi yang kekurangan jam mengajar. "Jika sekolah swasta tutup, banyak guru dan pegawai yang berisiko kehilangan pekerjaan," jelasnya.

Dia menilai, kebijakan ini secara tidak langsung memposisikan sekolah negeri dan swasta seperti sedang bersaing secara tidak sehat. Jika dibiarkan, hal ini bisa menimbulkan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan. "Kami berharap Presiden Prabowo mau turun tangan dan berbicara langsung dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, untuk membatalkan keputusan tersebut," ujarnya.

Pihaknya  juga mengajak para guru, pemerhati pendidikan, hingga anggota legislatif pusat dan daerah untuk bersama-sama mendorong revisi kebijakan tersebut.

 

Dedi Mulyadi: Daripada Rakyat Tidak Sekolah 

Gubernur yang biasa disapa KDM itu pun langsung membuat unggahan klarifikasi terkait usulannya itu. 

Ia mengatakan, hal itu tidak diberlakukan pada semua kondisi, akan tetapi pada kondisi tertentu. 

"Kalimatnya maksimal, jadi bisa 30, 35, bahkan 40. Dan apabila, kalimatnya apabila, di daerah tersebut banyak siswa yang dekat dengan sekolahnya punya kemampuan ekonominya rendah," ucapnya dalam unggahan video di media sosialnya pada Kamis (3/6/2025). 

Dedi mengatakan, banyak anak yang tidak memiliki uang untuk membayar ongkos karena sekokahnya yang jauh dari rumah. 

"Ketidakmampuan ini bukan hanya tidak mampu membayar tiap bulan, bisa saja dia bisa membayar tiap bulan tapi berat membayar di ongkos menuju ke sekolahnya," ucapnya. 

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan kebijakan ini merupakan solusi sementara, karena nantinya pihak Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangun ruang kelas baru. 

"Nanti pada tahun ajaran berikutnya atau semester berikutnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat pastinya akan membangun ruang kelas baru. Ruang kelas baru ini nantinya akan bisa menurunkan jumlah siswanya," ucapnya. 

Menurutnya, cara ini dilakukan karena kondisi yang telah dirinya sebutkan tersebut adalah situasi darurat. 


Berita Terkini