Provokator Bertopeng Kesucian dan Kekerasan dengan Dalih Agama

Provokator Bertopeng Kesucian dan Kekerasan dengan Dalih Agama

Rizieq Syihab cs adalah pemeran utama dalam drama "Korban yang Selalu Menyerang Duluan". FPI melapor ke polisi karena "diserang", tapi lupa bahwa sejarah mereka adalah katalog panjang sweeping, intimidasi, dan main hakim sendiri.

CIREBON-Jika teater punya penokohan, maka Rizieq Syihab cs adalah pemeran utama dalam drama "Korban yang Selalu Menyerang Duluan". FPI melapor ke polisi karena "diserang", tapi lupa bahwa sejarah mereka adalah katalog panjang sweeping, intimidasi, dan main hakim sendiri.

Begitulah perumpamaan playing victim dari aksi yang kerap dilakukan ormas yang sudah dibubarkan pemerintah. 

"Kalian yang biasa menghunus golok, sekarang berteriak 'kami dilukai'?. Ini namanya victim-playing level nasional," kata Sekjen DPP Garda Walisongo KH Eko Ahmadi, Minggu (27/7/2025).

Pria yang juga sebagai Pengasuh di Ponpes Tegalwangi, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon ini juga mengaku heran dengan sikap aparat penegak hukum yang seolah-olah tidak tegas terhadap pimpinan ormas yang kerap membuat gaduh di tanah ibu pertiwi ini.

BACA JUGA: Festival 7 Sungai ke-10 di Subang: Kampanye Pelestarian Lingkungan dan Budaya Lokal

"Alhamdulillah, polisi merespons cepat!"

 Tentu saja cepat, sebab polisi tahu jika FPI tidak dilayani, mereka bisa bikin kerusuhan lagi. FPI menuntut pembubaran PWI-LS karena meresahkan. Ironi yang menggelikan," ungkap KH Eko. 

Dia menjelaskan, Rizieq dan FPI dengan strategi halusnya, bukan sekedar ormas yang mengklaim diri paling Islam. Namun juga merupakan mesin propaganda pemecah belah hubungan antar umat beragama dan umat se-agama.

Bahkan,lanjut dia, setiap kali Rizieq dan FPI beraksi, yang terjadi adalah polarisasi massal (umat vs kafir dan PKI), provokasi kekerasan (pengajian jadi ajang ricuh) dan Delegitimasi negara (polisi hanya dijadikan alat laporan, bukan penegak hukum sejati). 

BACA JUGA: 5 Pusat Oleh-oleh Subang yang Cukup Terkenal dan Mudah Dijangkau di Pusat Kota

"Rizieq bukan ulama, ia ahli manufacturing conflict. Setiap ceramahnya bukan dakwah, tapi pembukaan front baru kerusuhan," jelasnya.

Dia menyebut, manajemen konflik yang kerap digunakan FPI selalu memakai pola klasik. Dimana selalu menganggap diri menjadi korban (Kami Korban Selamanya) dalam setiap perakara yang mereka sendiri sebagai pemicunya.

Dia mencontohkan, managemen konflik pola klasik ala Rizieq cs, memicu keributan dengan mengadakan acara di daerah rawan. Kemudian, jika ada yang melawan seolah-olah menjadi korban dan langsung lapor polisi sambil mengunakan jurus andalanya yaitu umat dizalimi. 

Setelah terpolarisasi, Rizieq cs selalu melakukan mobilisasi massa dengan secara halus mengintervensi dan menekan aparat penegak hukum untuk segera menindak laporanya dengan ancaman demonatrasi lebih besar. 

"Ini bukan perlindungan agama, tapi gangster diplomacy," tegasnya.

Dia menuntut negara khususnya pihak kepolisian agar menghentikan tindak-tanduk Rizieq dan FPI yang selalu plying victim. Pasalnya, FPI bukan merupakan ormas yang mewakili agama tapi litigasi teroganisir yang siap kapan dan dimanapun memecah belah rakyat di NKRI. 

"Stop jadi budak narasi "umat tertindas" yang dimainkan oleh Rizieq cs. Negara harus stop jadi Hostage FPI. FPI bukan ormas, tapi litigasi terorganisir. Rizieq bukan pemimpin agama, tapi provokator profesional. Jika negara terus takut membubarkan ormas seperti ini, maka bersiaplah untuk "slow motion disintegration," ungkapnya. 

"Jika Rizieq benar 'pejuang Islam', mengapa tak pernah satu pun teroris di Nusantara yang diadilinya? Karena musuh sejatinya bukan maksiat, tapi Negara yang berani berdiri tegak," tukas KH. Eko.(*)


  • Tag:

Berita Terkini