Internasional

Investor Panik, China Balas Tarif Trump dengan Serangan Balik Ekonomi

Investor Panik, China Balas Tarif Trump dengan Serangan Balik Ekonomi
Investor Panik, China Balas Tarif Trump dengan Serangan Balik Ekonomi (Image From: Tablet Magazine)

PASUNDAN EKSPRES - Ketegangan perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia kembali meningkat tajam.

Pemerintah China secara resmi menaikkan tarif impor terhadap barang-barang dari Amerika Serikat hingga 125% pada Jumat (11/4/2025), sebagai respons langsung terhadap kebijakan Presiden Donald Trump yang sebelumnya menaikkan bea masuk terhadap produk China.

Aksi balasan ini memperuncing konflik perdagangan global dan menimbulkan dampak domino yang signifikan terhadap pasar finansial dan rantai pasok internasional.

Tarif Tinggi China, Respons Langsung atas Trump

Langkah China ini merupakan bentuk pembalasan atas kebijakan Trump yang kembali memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% untuk seluruh barang impor, terutama dari China, yang nilainya mencapai lebih dari USD 650 miliar sepanjang 2024.

Trump menyebut kebijakannya sebagai "tarif timbal balik" untuk melindungi kepentingan nasional dan mendorong negara lain agar segera menyepakati perjanjian dagang bilateral dengan AS.

“Kami bisa melakukan apa saja yang kami inginkan, tapi kami tetap ingin adil,” ujar Trump dari Air Force One, dikutip Reuters, Sabtu (12/4).

“Kalau mereka ingin berdagang dengan kita, mereka harus membayar tarif. Kalau tidak, mereka bisa memilih untuk tidak berurusan dengan kita.”

Namun, para analis menegaskan bahwa tarif seperti itu justru akan dibayar oleh importir domestik, bukan eksportir asing seperti yang sering diklaim Trump.

Biaya tersebut kemudian akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih mahal.

Pasar Global Bergejolak: Emas Naik, Obligasi AS Terjun

Kebijakan saling balas tarif ini memicu kegelisahan investor di seluruh dunia.

Meskipun indeks saham AS berakhir naik di akhir pekan, pasar mencatat gejolak yang besar:

  • Harga emas mencetak rekor tertinggi, menandakan investor berbondong-bondong mencari aset aman (safe haven).
  • Imbal hasil obligasi 10 tahun AS melonjak tajam, mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak 2001.
  • Nilai tukar dolar AS merosot, menunjukkan turunnya kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi AS.

Kementerian Keuangan AS menyatakan bahwa Scott Bessent, Menteri Keuangan, saat ini sedang memantau secara ketat pergerakan pasar obligasi.

Ada kekhawatiran bahwa China mungkin mulai menjual sebagian besar kepemilikan obligasi AS-nya, yang akan memperburuk tekanan pada pasar keuangan.

Ketakutan Resesi dan Lonjakan Inflasi

Kondisi ini diperparah dengan data konsumen terbaru yang menunjukkan bahwa ketakutan terhadap inflasi di AS mencapai level tertinggi sejak 1981.

Dalam survei terbaru dari University of Michigan, Consumer Sentiment Index anjlok dari 57,0 di bulan Maret menjadi 50,8 pada bulan April—penurunan yang jauh melebihi prediksi ekonom.

Bill Adams, Kepala Ekonom di Comerica Bank, menyebut fenomena ini sebagai “Tarifflation” atau gabungan dari tarif dan inflasi.

Ia memperingatkan bahwa jika kebijakan tarif tetap diberlakukan, maka akan ada lonjakan inflasi yang lebih signifikan dalam beberapa bulan ke depan.

Dampak Terhadap Indonesia dan Negara Berkembang

Negara-negara berkembang seperti Indonesia juga tak luput dari dampak perang dagang AS-China.

Gangguan pada rantai pasok global dan naiknya harga bahan baku impor berisiko meningkatkan tekanan inflasi domestik, serta menghambat ekspor yang selama ini mengandalkan pasar global.

Bank Indonesia menyatakan akan terus memantau perkembangan global dan siap melakukan intervensi pasar apabila volatilitas mata uang dan obligasi menjadi tidak terkendali.

Para pelaku usaha juga diminta untuk mempersiapkan strategi jangka panjang dalam menghadapi ketidakpastian global.

(ipa)

Terkini Lainnya

Lihat Semua