Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan

Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan

Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan

PASUNDAN EKSPRES - Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengkritik keras putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia kepala daerah. Menurut Mahfud, keputusan ini bukan hanya melanggar etika dan moral, tetapi juga cacat secara hukum.

 

"Ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (4/6).

 

BACA JUGA: PLN Resmi Tawarkan Promo Tambah Daya Listrik Diskon 50% di Bulan Mei 2025, Ini Syarat dan Cara Dapatkannya

Mahfud menyatakan rasa muaknya terhadap keputusan MA yang mengabulkan gugatan tersebut. Ia menilai keputusan ini mencerminkan betapa rusaknya sistem hukum di Indonesia.

 

"Saya sebenarnya sudah agak malas berkomentar. Satu, kebusukan cara kita berhukum lagi untuk dikomentari sudah membuat mual. Sehingga saya berbicara oh ya sudah lah apa yang mau dilakukan aja, merusak hukum," ujarnya.

 

BACA JUGA: Para Jemaah Haji, Ini Hal yang Dilarang saat Berada di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi

Mahfud menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi MA untuk mengabulkan gugatan mengenai batas usia calon kepala daerah tersebut. Sebab, Peraturan KPU (PKPU) yang ada sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) tentang Pilkada. Namun, MA justru menyatakan PKPU tersebut bertentangan dengan UU.

 

"Kenapa? Dia [MA] memutuskan atau membatalkan satu isu Peraturan KPU yang sudah sesuai dengan UU tetapi dinyatakan bertentangan dengan UU," kata Mahfud. "Ini tiba-tiba dibatalkan karena katanya bertentangan. Loh bertentangan dengan yang mana? Lho wong peraturan KPU sudah benar. Kalau memang itu mau diterima putusan MA berarti ia membatalkan isi UU sedangkan menurut hukum, konstitusi kita, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi UU," tambahnya.

 

Mahfud menilai kecurigaan masyarakat terhadap institusi hukum adalah konsekuensi logis dari berbagai tindakan eksekutif dan yudikatif yang sering kali melanggar etika dan hukum. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai istilah seperti "Mahkamah Kakak" (MK) dan "Mahkamah Anak" (MA) sebagai bentuk cemoohan dari publik.

 

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.

 


Berita Terkini