SUBANG-Atin Kuraesin, pemilik usaha budidaya jamur tiram di Desa Dayeuh Kolot Kecamatan Sagalaherang Subang menceritakan kisahnya tentang bagaimana ia memulai usaha ini.
Kisah Atin merupakan contoh inspiratif tentang ketekunan dan inovasi dalam mengembangkan usaha kecil menengah (UKM) di tengah situasi yang tidak selalu menguntungkan.
Atin Kuraesin menceritakan awal mula ketertarikannya dalam usaha budidaya jamur tiram. Ia mengaku tertarik setelah melihat potensi bisnis ini, namun pada awalnya, ia tidak memproduksi log (media jamur) sendiri, melainkan membeli log dari pihak lain.
“Awalnya beli log, harganya Rp2.500 per log. Dalam satu periode panen yang berlangsung 4-5 bulan, panen pertama berjalan lancar. Tetapi pada panen kedua yang bertepatan dengan pandemi Covid-19, harga jamur turun drastis menjadi Rp4.000 per kilogram. Akibatnya, modal yang dikeluarkan hanya kembali setengahnya,” ujarnya kepada Pasundan Ekspres, Senin (20/5).
Karena kondisi tersebut, Atin memutuskan untuk memproduksi log sendiri. "Belajar dari teman, mulai dari mengaduk komposisi antara serbuk, dedak, dan kapur. Pertama kali mengaduk 4 karung serbuk, harga 1 karung Rp7.000. Dulu 1 karung bisa menjadi 40 log, sekarang paling banyak 37 log," jelasnya.
Proses produksi dimulai dengan mengaduk bahan-bahan kering seperti serbuk, dedak, dan kapur, kemudian ditambahkan air dan diaduk lagi hingga basah.
Setelah itu, campuran diayak menggunakan ayakan seperti yang digunakan oleh tukang bangunan, kemudian ditutup dengan terpal selama satu malam. Keesokan harinya, campuran tersebut dimasukkan ke dalam log, diikat dengan tali rafia, dan dikukus di dalam drum selama 7-8 jam menggunakan gas melon.
"Jika gas habis, berarti proses pengukusan sudah selesai," tambahnya.
Untuk strategi pemasaran, Atin menjelaskan, ia lebih memilih menjual jamur ke pengepul karena lebih stabil dibandingkan menjual eceran di pasar. "Harga jamur ke pengepul Rp 10.000 per kilogram, sedangkan harga eceran bisa mencapai Rp12.000 per kilogram. Namun, jika menjual eceran, ada risiko jamur tidak laku dan terbuang karena pasar hanya menerima jumlah terbatas," katanya.
Dari 1.000 log, Atin bisa menghasilkan 4 kwintal jamur, yang setara dengan pendapatan Rp4 juta dalam 4 bulan. "Kalau log sudah tidak produktif, kadang suka ada yang ngambil ke sini," ujarnya.
Atin mengatakan, pengepul selalu siap menerima hasil panen, baik saat panen raya maupun saat jumlah panen sedikit. "Panen setiap hari, jadi kalau ke pengepul pasti diterima," jelasnya.
Tidak bisa dipungkiri, budidaya jamur tiram juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satu kendala utama yang dihadapi Atin adalah fluktuasi harga yang dipengaruhi oleh pasokan jamur yang melimpah di pasaran.
"Kadang-kadang, tanpa janji, banyak petani jamur panen bersamaan sehingga harga turun. Selain itu, saat hari besar seperti Lebaran, jamur tidak dipanen selama beberapa hari, sehingga setelah liburan harga jamur anjlok karena permintaan masih rendah," ungkapnya.
Selain masalah harga, Atin juga menghadapi kendala dalam proses produksi, terutama terkait kontaminasi. Log yang terkena hama tidak akan menghasilkan jamur yang baik. Kontaminasi bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti proses pengukusan yang tidak sempurna, pembibitan yang kurang steril, atau hama kecil seperti gurem yang tidak terlihat.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Atin melakukan daur ulang terhadap log yang terkena hama. Log yang terkontaminasi diolah kembali untuk mengurangi kerugian.
Atin memiliki harapan besar untuk masa depan usahanya. Ia berharap dapat memiliki alat pengolahan yang memungkinkan untuk memanfaatkan jamur kecil yang tidak laku dijual. "Jika bisa diolah menjadi nugget atau sosis, jamur yang tidak terjual masih bisa memberikan keuntungan," katanya.
Selain itu, Atin juga berkeinginan untuk memperluas usahanya dengan menambah kumbung (tempat penyimpanan log) dan memperkerjakan lebih banyak orang. "Dengan kumbung yang lebih banyak, produksi bisa ditingkatkan dan saya bisa membantu menyediakan lapangan kerja bagi warga sekitar," harapnya.
Atin berharap usahanya bisa terus berkembang dan memberikan manfaat lebih bagi dirinya dan masyarakat sekitar. Dengan dukungan teknologi dan fasilitas yang memadai, serta semangat untuk terus belajar dan berinovasi, masa depan usaha budidaya jamur tiram di Subang tampaknya akan semakin cerah.(hdi/ysp)