PASUNDAN EKSPRES - Waspada, lebih dari 3.300 WNI jadi korban online scamming atau penipuan daring. Kabar tersebut dibenarkan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Angka tersebut merupakan akumulasi sejak tahun 2020 lalu.
Melansir dari JawaPos, Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengungkapkan, jumlah korban penipuan daring tersebut terus naik hingga delapan kali lipat pada tahun ini. Lonjakan mulai terdeteksi sejak tahun 2021.
”Yang dulu hanya tercatat di Kamboja di awal 2020, sekarang (korban, Red) sudah menyebar ke delapan negara,” ungkapnya dalam press briefing Kemenlu di Jakarta kemarin ddari JawaPos (20/12).
Kedelapan negara tersebut di antaranya adalah Vietnam, Laos, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Thailand, Filipina, serta UEA. Menurut dia, kenaikan kasus online scamming tersebut dipicu oleh syarat mudah dan besaran gaji yang ditawarkan.
1. Tidak ada syarat khusus dalam bekerja yang menyebabkan korban mudah tergiur
Karena tidak ada syarat khusus untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan online scamming ini. Sehingga menyebabkan korban tak sadar dan mudah tergiur.
Masalahnya, iklan yang ternyata online scamming itu hanya disebutkan terdapat lowongan menjadi customer service dengan gaji sekitar Rp 18–20 juta per bulan.
2. Korban diminta membuat akun palsu
Namun, setibanya korban di sana justru diminta membuat akun palsu untuk kemudian mencari sasaran online scamming.
”Biasanya akun palsunya menjadi perempuan. Kemudian diberikan target korban scamming. Mereka mendekati dengan love scam,” ungkapnya.
Love scamming adalah salah satu modus dalam kejahatan siber ketika pelaku kejahatan menggunakan identitas palsu sehingga korban jatuh cinta kepadanya. Setelah itu pelaku menggunakan berbagai cara agar korban bersedia mengirimkan sejumlah uang.
BACA JUGA:Sekretaris Daerah Subang Ajak Masyarakat Berantas Korupsi
3. Korban bukan tipikal TPPO
Tipikal korban yang dipekerjakan di perusahaan online scamming di luar negeri ini sangat berbeda dengan korban TPPO (tindak pidana perdagangan orang) pada umumnya. Mereka adalah gen Z berusia 18–35 tahun. ”Hampir 90 persen gen Z,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, mereka terdidik alias well educated. Bahkan, ada yang pendidikannya sudah S-2. Mereka pun bukan dari golongan ekonomi ke bawah atau kategori miskin.
”Dan, ada yang sudah pernah bekerja, bukan penganggur. Mereka sudah bekerja, lalu dapat tawaran ’menggiurkan’ jadi pindah,” jelasnya.
(nym)