News

Kekuasaan

Kekuasaan

Pojokan 203

 

Kekuasaan itu memag nikmat. Dan kenikmatan itu tidak boleh dimiliki orang lain. Apalagi orang kecil. Pantas jika penguasa, tidak pernah jauh dari kroni dan cukong-cukong. Sebab untuk menjadi penguasa perlu dukungan modal dan kroni. Juga trah atau pengalaman. Walau bukan jaman kerajaan yang bisa mewariskan kekuasaan, dijaman sekarang pun kekuasaan bisa dihibahkan lewat jalan konstitusional pemilihan. Diteruskan, dengan cara direkayasa atau dimodali bisikan dan “amplop” tukar suara.  Kekuasaan selalu identik dan bersanding dengan uang. Baik sebelum maupun sesudah dapat kekuasaan.

Kekuasaan punya kehidupannya sendiri. Uang pun punya rumusnya sendiri. Ada kekuasaan yang langgeng seperti para raja atau diktator. Kekuasaan yang lestari ini, baru putus setelah sedo atau dikudeta. Ada yang di tengah jalan sudah tumbang tergusur atau tertiup angin puting beliung. Terkapar di tanah kadang hingga tersungkur, tak berkutik diterpa gelombang demo atau mosi atau kudeta para pemburu kekuasaan. Ada juga yang layu sebelum berkembang. Karena dibonsai dan dikotakkan.  Yang terakhir ini bisa jadi lebih karena kurang kroni dan modal. Atau karena tak bermutu! Juga peruntungan yang tak untung.

Kekuasaan berkelindan dengan uang yang dikuasai para cukong.  Menganut kaidah “tak ada makan siang yang gratis”.  Walau tak gratis, setiap manusia akan selalu mengejar kekuasaan. Betapa pun kecil kekuasaan itu. Bahkan hingga menurunkan tabiat “sok kuasa”. Walau tak pernah beriklan, kekuasaan dan uang membuat candu.  Seolah tali penjerat-mengikat erat. Menjadi adiksi, ketergantungan. Bahkan kegilaan. 

Betapa terikatnya manusia pada kekuasaan dan uang. Sampai kaki dan tangan, juga otaknya. Gerak langkah manusia dan motivnya tak lepas dari mengejar, mempertahankan, memperbesar dan atau merebut kekuasaa, pun uang. Medianya bisa ragam warna dan laku. Caranya bisa konstitusional atau tak konstitusional. Berdarah atau tak berdarah.  Melahirkan kelas manusia penghamba kekuasaan/uang, pencari kekuasaan/uang, mengejar kekuasan/uang dan gila kekuasaan/uang. 

Menciptakan kontestasi dan jual-beli kekuasaan/jabatan. Kontestasi mulai dari pemilihan kepala RT (Rukun Tetangga) hingga presiden, harus ada yang dijual dan dibeli. Suara yang dibeli atau membeli suara -vote buying. Atau menjual suara (baca dukungan) asal dapat kursi atau konpensasi. Bahkan ada yang tak sadar suaranya terbeli, tanpa mendapat apa-apa alias zoong. Masih kurang percaya?  Tengok saja, tangkapan lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap para pejabat yang menjual-belikan jabatan ketika berkuasa.  

Dalam sejarahnya, soal kekuasaan selalu dihiasi dengan darah, kejatuhan, kebangkitan dan kemunculan para penguasa. Kolaborasi ambisi, uang, dendam, dan seabrek bumbu-bumbu godaan kekuasan yang melahirkan berbagai kepentingan demi kekuasaan. Memunculkan adagium “tak ada teman atau musuh yang abadi dalam politik-kekuasaan, yang abadi adalah kepentingan”. Koalisi atau pun oposisi hanya instrument untuk meraih dan merebut kekuasaan. Akan selalu ada perebutan kekuasaan baik secara konstitusional atau tak konstitusional. Bahkan dengan rekayasa kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan.

Sejatinya kekuasaan adalah keberanian melahirkan kebijakan yang melindungi segenap tumpah darah ibu pertiwi dan menjaga kedaulatan bangsa. Memastikan konstitusi berjalan dan hukum ditaati. Bukan direkayasa dan dipermainkan demi kepentingan cukong, kroni atau kekuasaan itu sendiri.

Soal kekuasaan, Imam Syafii pernah berseloroh dengan serius, “tasharruful al-Imam ala ar-Ra’iyah manuthun bi al-Maslahah”, kebijakan penguasa/pemerintah atas rakyatnya harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan.  Kemaslahatan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, lingkungan, harta rakyat yang menjadi tangungjawab penguasa. Menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam (yang di bawah, di atas dan di langit) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat- bukan untuk kemakmuran cukong karena harus bayar mahar kekuasaan. Juga kemaslahatan untuk menjaga marwah dan kedaulatan bangsa.

Sejujurnya, ketika berkuasa memang enak. Sudah menunggu segudang fasilitas, bisa nunjuk-nunjuk orang, meminta ini dan itu dengan dibayari orang yang dipinta. Keenakan karena dapat menentukan dan memengaruhi kebijakan. Pantas pada akhirnya, manusia hanya menjadi binatang piaraan dari kekuasaan dan uang yang dibuatnya sendiri. Menjadi penghamba yang sadar dan tak sadar dari kekuasaan dan uang.

 

Oleh: Kang Marbawi

 

 

Tag :

Berita Terkait