Kalau soal menahan makan, hiu, buaya, ular, beruang juga berpuasa. Bahkan mereka bisa berbilang bulan dan tahun. Urusan puasa, semua agama abrahamik dan ardhi pun berpuasa.
Soal menjalankan puasa, anak kecil pun sudah diajari. Tak usahlah bicara yang tak saum Sebab soal puasa, itu urusan pribadi dan tak usah resah dengan yang tak puasa.
Kawan, ibarat handphone dicas, orang berpuasa juga sedang dicas. Tak heran, selama Ramadhan, rutinitas keagamaan meningkat tajam. Seolah saham yang sedang bullish -naik. Masjid-masjid penuh, donasi sosial meningkat, terlihat orang-orang lebih saleh ritual.
Konon, ibadah di bulan syiam, pahalanya berlipat. Sepertinya Ramadhan sama dengan promo sale di mall-mall, Tuhan pun memberi banyak ganjaran. Promo habis, harga pun kembali normal. Begitupun kesalehan ritual, lebaran datang, ritual kembali ke mode awal, biasa-biasa saja ritualnya.
Puasa bagi kebanyakan orang -termasuk saya, hanya soal rutinitas tahunan saja. Terjadwal dan berjamaah sedunia. Lain itu, tak ada. Tiba lebaran fitri, kemaruk akan konsumtif dan hedonis meruak kembali. Bahkan -nafsu syahwatnya pasca puasa, lebih besar dan menggurita. Tak ada yang membekas dari hibernasi selama satu bulan.
Kesalehan ritual rutin di bulan puasa hanya hibernasi semu. Tak ada hibernasi spiritual seperti ulat menjadi kupu-kupu. Ulat dan kupu-kupu adalah spesies yang sama namun berbeda dalam tahap kehidupan. Kupu-kupu lahir dari proses metamorphosis ulat ketika bertapa dalam kepongpong, untuk menginjak tahap kehidupan yang lebih dewasa dan lebih indah.
Seorang anak dan orang dewasa, sama-sama manusia. Orang dewasa pasti mengalami masa remaja dan anak-anak, sebagai bagian dari siklus kehidupan. Namun tak sedikit orang dewasa yang masih kekanak-kanakan emosional dan sikap perilakunya.
Ramadhan memberikan waktu kepada kita untuk masuk dalam kepongpong. Melakukan tapa instrospeksi diri dari segala rasa, ego, syahwat, emosional, relasi sosial (hab min an-nass), relasi transenden dan laku spiritual (hab min Allah). Untuk bermetamorphosis menjadi manusia yang lebih dewasa. Ukuran dewasa bisa dilihat dari cara berpikir, bersikap dan merespon sesuatu dengan bijak, tepat, tegas dan tuntas. Yang menemukan kedewasaan itu mungkin mendapat bentuk prize lailatul qadr.
Hadiah lailatul qadr, tak ada yang tahu pasti bentuknya. Sebab tak satupun manusia di dunia yang mengaku mendapat hadiah itu. Tak ada pula panitia pemilihan pemenang lailatul qadr. Macam pemilihan presiden, gubernur, atau ketua RT (Rukun Tetangga). Jadi bisa saja semua orang memiliki kesempatan dan menafsirkan maknanya. Soal tanda-tanda mendapatkannya, bolehlah sebagai referensi.
Tak mudah memang, menemukan kedewasaan. Kepongpong kedewasaan itu dirayapi nafsu dan ego. Juga menyeruak keinginan syahwat serta kepentingan. Pun faktor eksternal yang memengaruhi proses pendewasaan. Cara pandang dan bersikap terhadap sesuatu dari luar itu, justru yang membantu proses pendewasaan diri.
Tempaan kesulitan, penderitaan, masalah, ketabahan diri dalam menghadapi kehidupan, menjadi kepongpong sempurna untuk menjadi dewasa. Kedewasaan dibentuk oleh pengalaman hidup dan memaknainya dengan sadar dan arif.
Puasa menjadi katalisator untuk merefleksikan kembali tahapan kehidupan yang telah dilalui. Kedewasaan sikap yang tak kalah oleh kepentingan sendiri, keserakahan dan egosime. Menjelma dalam laku sederhana dan kebeningan nurani dalam tindak jujur laku lampah dan tutur kata.
Menemukan kedewasaan diri, itu yang harus dilakukan dalam puasa. Menemukannya adalah menuju tahap selesai dengan diri sendiri. Dan itu proses yang panjang dan penuh onak duri. (Kang Marbawi 150325)