Bayang-bayang Ketimpangan Jabar (Bagian I): Kemajuan Tak Sampai ke Desa

Bayang-bayang Ketimpangan Jabar (Bagian I): Kemajuan Tak Sampai ke Desa

Budi Rahman Hakim, Ph.D (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | Peneliti Transformasi Sosial & Keadilan Wilayah)

Solusinya tidak cukup dengan CSR atau program BLT musiman. Diperlukan perubahan tata kelola anggaran dan perencanaan pembangunan daerah. Beberapa usulan konkret yang layak dikaji: Pertama, revisi alokasi Dana Transfer ke Desa (DTD) dengan skema afirmatif bagi desa yang terdampak alih fungsi lahan. Kedua, penguatan angkutan umum lintas desa-kecamatan berbasis subsidi silang dari PAD kawasan industri.

Ketiga, audit sosial tahunan untuk mengukur persepsi warga terhadap kemajuan daerahnya—bukan sekadar pertumbuhan PDRB. Keempat, kemitraan antara BUMDes dan korporasi untuk memperluas kesempatan usaha mikro warga sekitar kawasan industri. Tanpa intervensi struktural, ketimpangan akan semakin akut. Kawasan industri akan terus tumbuh, sementara kampung-kampung di sekitarnya hanya menjadi penonton kemajuan. Bahkan, bisa jadi malah korban: kehilangan lahan, kehilangan air, kehilangan identitas social.

Purwakarta, Karawang, dan Subang punya potensi luar biasa. Tapi pembangunan yang hanya menyentuh permukaan tidak cukup. Pertumbuhan tidak bisa didefinisikan hanya lewat panjang tol atau nilai investasi masuk. Ia harus diukur dari seberapa banyak warga desa yang bisa mengakses air bersih, seberapa mudah siswa pergi ke sekolah, dan seberapa adil pembangunan dirasakan dari hulu ke hilir. Tanpa itu, kita hanya sedang membangun “kemajuan semu”—yang gemerlap di tengah kota, tapi gelap di pelosok desa.

Masalah ini tidak unik di Jawa Barat. Studi OECD tahun 2022 tentang pemerataan wilayah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional cenderung terkonsentrasi di kawasan metropolitan, sementara wilayah rural menjadi korban bayangan pembangunan. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa ‘’tanpa peta kebutuhan wilayah mikro dan dukungan fiskal yang proporsional, pembangunan cenderung bias kota.’’

Artinya, Pemprov Jabar dan kabupaten di Jabar Utara harus mulai memperlakukan desa bukan sebagai objek distribusi, tapi sebagai pelaku strategis. Jika konektivitas ke desa tidak dibangun, jika layanan dasar tidak ditingkatkan, dan jika warga desa tidak dilibatkan dalam setiap keputusan proyek, maka Jawa Barat akan terus tumbuh timpang: indah dari luar, rapuh di dalam. 

Alih-alih memusatkan perhatian pada proyek besar dan pencitraan visual, saatnya pemerintah menengok kembali janji-janji pemerataan dalam RPJMD 2021–2026. Revisi skema anggaran infrastruktur, distribusi energi, dan sinergi antar-Dinas harus menjadi prioritas. Komitmen ini tidak hanya menyentuh fisik, tapi menyentuh rasa keadilan publik. (Bersambung)

 


Berita Terkini