Opini

Kualitas Udara dan Menjaganya dari Polusi

opini

Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
(Dosen Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Udara adalah campuran gas yang menyelimuti bumi merupakan komponen vital bagi keberlangsungan hidup semua makhluk hidup. Zat ini terdiri dari berbagai macam gas, terutama nitrogen (N₂), oksigen (O₂), dan argon (Ar). Selain itu, udara juga mengandung uap air, karbon dioksida (CO₂), serta berbagai jenis polutan. Oksigen yang terkandung dalam udara adalah elemen esensial yang diperlukan oleh organisme hidup untuk bernafas dan mendukung proses metabolisme. Namun, kualitas udara yang kita hirup adalah mengacu pada tingkat kemurnian udara dari berbagai jenis polutan. Kualitas udara yang buruk disebabkan oleh peningkatan polutan seperti partikel halus , ozon, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan karbon monoksida.

Perubahan pada polutan udara dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik alami (sumber alam) maupun antropogenik (berupa aktivitas manusia), seperti pembakaran bahan bakar fosil, industri, dan transportasi.   Polusi udara ini dapat berakibat serius pada kesehatan manusia, menyebabkan penyakit pernapasan, penyakit kardiovaskular, dan bahkan kematian dini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mencatat bahwa 92% dari populasi dunia menghirup udara dengan kualitas yang buruk. Kualitas udara yang buruk tersebut juga merupakan salah satu penyebab utama kematian dini secara global, yang menyoroti pentingnya pemantauan dan pengelolaan kualitas udara (World Health Organization, 2016).

Kualitas udara di Indonesia  menjadi perhatian khusus karena sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, pastinya menghadapi tantangan yang signifikan dalam menjaga kualitas udara. Urbanisasi yang cepat, peningkatan jumlah kendaraan bermotor, dan aktivitas industri telah menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan udara di banyak kota besar. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2022 mencapai lebih dari 150 juta unit, dengan sepeda motor mendominasi sekitar 80% dari total kendaraan (Badan Pusat Statistik, 2023). 

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini berkontribusi signifikan terhadap polusi udara, terutama di kawasan perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Emisi dari kendaraan bermotor terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna, yang menghasilkan gas berbahaya dan partikel mikroskopis yang dapat merusak kesehatan manusia.

Semisalnya saja sektor transportasi, khususnya di Jakarta, diidentifikasi bahwa sepeda motor sebagai kontributor terbesar pencemaran udara di Jakarta, dengan sepeda motor sendiri bertanggung jawab atas hingga 79,6% hidrokarbon dan 74,7% partikel, dan diperkirakan akan terus berlanjut menyumbang lebih dari 70% polutan udara (CO, HC, dan PM) pada tahun 2040 mendatang, melampaui kendaraan lain seperti mobil penumpang diesel.

Pengaruh polusi udara dari kendaraan bermotor terhadap kesehatan masyarakat sangat signifikan. Polusi udara telah terbukti menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit pernapasan, kardiovaskular, dan kanker paru-paru. Studi yang dilakukan oleh Ji et al. (2024) menemukan bahwa peningkatan polusi udara terkait langsung dengan peningkatan kasus asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) di daerah perkotaan dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi.  Terlebih lagi, di Jakarta, setiap tahunnya polusi udara menyebabkan lebih dari 7.000 kasus kesehatan yang merugikan pada anak-anak, lebih dari 10.000 kematian, dan lebih dari 5.000 rawat inap. Jika di konversikan maka total biaya tahunan dampak kesehatan dari polusi udara di Jakarta diperkirakan bisa mencapai sekitar USD 2943,42 juta (Syuhada et al., 2023). 

Oleh sebab itu, maka sangatlah dianjurkan kita untuk dapat memahami dan mempelajari kualitas udara, karena selain krusial untuk kesehatan manusia, kualitas udara yang buruk juga dapat merusak ekosistem yang ada.  Salah satu dampak yang paling signifikan adalah terjadinya asidifikasi tanah. Asidifikasi adalah proses penurunan pH (tingkat keasaman) tanah atau air. Ini dapat terjadi secara alami atau akibat aktivitas manusia. Beberapa jenis polutan yang menyebabkan dampak asidifikasi adalah SO2, NOx, SO3, NO, dan NH3. Proses ini dimulai ketika NO2 bereaksi dengan uap air di atmosfer membentuk asam nitrat. Hujan asam yang mengandung asam nitrat kemudian jatuh ke permukaan bumi, menyebabkan tanah dan perairan menjadi lebih asam. Asidifikasi tanah memiliki konsekuensi yang serius bagi kehidupan di dalamnya.

Asidifikasi tanah akibat hujan asam dapat menyebabkan: 1) penurunan kualitas tanah dengan menurunkan pH dan menyebabkan hilangnya unsur hara essensial seperti kalsium, magnesium, dan kalium. Hilangnya unsur hara essensial pada tanah karena asidifikasi tanah dapat menjadikan tanah tersebut menjadi kurang subur, mengurangi kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman (Lonardo & Rachmawati, 2023). Tanaman yang tumbuh di tanah yang terasidifikasi sering mengalami kerusakan akar, pertumbuhan terhambat, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit dan hama. Selain itu, asidifikasi tanah tersebut dapat meningkatkan mobilisasi dan perilaku perlindian logam berat di tanah dan memberikan dampak yang merugikan pada perairan, hewan dan tumbuhan karena menganggu jaringan makanan (Kim & Chae, 2016). 2) Asidifikasi juga berkontribusi terhadap penurunan keanekaragaman hayati secara umum.

Habitat alami yang terasidifikasi akan mengalami kehilangan daya dukungnya bagi spesies yang tergantung pada kondisi pH tertentu. Kerusakan habitat ini sering kali bersifat permanen, karena proses pemulihan tanah dan air yang terasidifikasi dapat memakan waktu puluhan hingga ratusan tahun. Misalnya penurunan populasi amfibi di kawasan Taman Nasional Kruger, Afrika Selatan. Asidifikasi mempengaruhi habitat dari amfibi yang berupa ukuran berudu menurun dan kelainan bentuk berudu meningkat seiring dengan penurunan pH. Metamorfosis berudu juga tertunda oleh peningkatan keasaman (Farquharson et al., 2016). 

Oleh karena itu, perlu adanya upaya mitigasi untuk mengurangi emisi polutan udara, khususnya asidifikasi serta mengurangi dampak dari asidifikasi tersebut. Dalam hal ini, disesuaikan dengan background penulis, yaitu upaya mitigasi berbasis lingkungan. Selain upaya teknis seperti pengembangan kendaraan listrik dan peningkatan standar emisi, terdapat sejumlah langkah berbasis lingkungan yang dapat dilakukan untuk mengurangi polutan udara dan meminimalisir terjadinya asidifikasi. Upaya mitigasi lingkungan merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan dengan cara seperti merehabilitasi hutan dan atau lahan, mengelola limbah dengan baik, dan pemantauan kualitas udara berkala. Merehabilitasi lahan yang sudah terasidifikasi juga penting untuk memulihkan ekosistem yang rusak. Salah satu metode yang efektif adalah pengapuran (liming), di mana kapur ditambahkan ke tanah yang terasidifikasi untuk meningkatkan pH dan mengurangi keasaman. Pengapuran ini juga dapat diterapkan pada air di danau dan sungai untuk menetralkan asidifikasi, memulihkan habitat akuatik, dan meningkatkan kualitas air. Langkah rehabilitasi ini membantu memulihkan kesuburan tanah dan meningkatkan keanekaragaman hayati di daerah yang terdampak (Foy, 1984).  

Langkah rehabilitasi yang lain adalah pembentukan ruang terbuka hijau pada lahan yang direhabilitasi . Karena itu, disini pentingnya peran dari sebuah pohon, yang mana nantinya dapat berupa area ruang terbuka hijau ataupun hutan. Pohon berperan sebagai filter alami yang menyerap polutan udara seperti karbon dioksida dan berbagai partikel berbahaya. Dengan meningkatkan jumlah pohon di perkotaan, kita dapat menciptakan paru-paru kota yang membantu membersihkan udara. Selain penanaman pohon, pembuatan taman kota dan penghijauan bangunan juga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas udara (Gómez-Baggethun & Barton, 2013). Ditambah lagi, dengan adanya rehabilitasi hutan dan atau lahan diharapkan dapat mengembalikan fungsi dari eksosistem tersebut. Melalui pengembalian keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem yang hilang dapat meningkatkan ketahanan terhadap asidifikasi. Ekosistem yang sehat dapat membantu menyerap dan menetralkan asam yang berasal dari polutan (Marín-Spiotta & Ostertag, 2016; Gastauer et al., 2024). Dengan menggabungkan berbagai upaya tersebut, diharapkan kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat untuk generasi mendatang.(*)

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua