Opini

Haji Mabrur dan Kesolehan Sosial

Dr. Dede Rubai Misbahul Alam, M.Pd (Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas 45 Bekasi, Ketua DMI Kab. Subang)
Dr. Dede Rubai Misbahul Alam, M.Pd (Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas 45 Bekasi, Ketua DMI Kab. Subang)

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim yang mampu. Sebelum umat Nabi Muhammad SAW, syariat untuk berhaji telah Allah tetapkan kepada Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim AS.

Bahkan jauh sebelum itu Nabi Adam AS semenjak diturunkan oleh Allah ke dunia ia diperintahkan untuk melakukan thawaf di Baitullah di Bakkah (Ka’bah) rumah yang pertama dibangun oleh Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”(QS. Ali-Imran: 96). Meskipun dalam pelaksanaan ibadahnya berbeda dengan yang dipraktekkan umat Islam sekarang ini.

Ibadah haji disyariatkan kepada umat Islam pada tahun 6 H/628 M. Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin baru bisa melaksanakan ibadah haji pada tahun ke 10 hijriah setelah terjadinya peristiwa pembebasan kota Makkah. Peristiwa ini dicatat dalam sejarah sebagai haji Wada’ (perpisahan). Karena setelah itu Nabi SAW wafat. Nabi Muhammad SAW dalam seumur hidupnya hanya satu kali melaksanakan ibadah haji.

Dasar itulah yang menjadikan dalil wajib haji hanya satu kali. Adapun yang kedua atau yang ketiga kali dan seterusnya adalah bentuk tathowu’ (kesukarelaan) saja. Imam Al Ghozali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa berhaji untuk yang kedua, ketiga dan yang kesekian kalinya akan bernilai pahala sunnah manakala pertimbangan nilai prioritas (sosial) telah ia tunaikan terlebih dahulu.

Ia tidak memaksakan diri berangkat haji dengan ongkos hartanya yang besar, meninggalkan kampung halaman, sementara tetangga dan masyarakat disekitarnya berada dalam kelaparan dan masih banyak orang miskin yang harus dibantu. Meraka yang berhaji dengan memaksakan kehendak untuk ibadah (mencari kepuasan dirinya sendiri) atau untuk menunjukkan strata sosialnya ditengah-tengah masyarakat maka ia pulang tidak akan membawa pahala apapun. Artinya memberikan manfaat untuk orang lain dengan harta yang kita miliki jauh lebih baik sekalipun untuk ongkos perjalanan berhaji.

Haji artinya menyengaja. Menurut istilah syari’at artinya menyengaja mengunjungi Ka’bah di Mekah untuk melakukan beberapa rangkaian amal ibadah menurut rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syara’ (syari’at). Tujuannya adalah untuk membentuk jiwa (karakter) manusia yang bertauhid kepada Allah SWT, manusia yang memiliki kebersihan dan kerendahan hati, kepasrahan serta ketaatan terhadap aturan Allah SWT.

Manasik haji adalah proses awal pendidikan karakter (tauhid). Melalui manasik haji calon jamaah dilatih dan dibimbing untuk mengetahui dan mentaati aturan-aturan dalam ibadah haji. Pengetahuan tentang aturan-aturan ibadah haji merupakan syarat penting yang harus dimiliki oleh calon jamaah haji agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan baik dan benar sesuai syari’at. Prosesi manasik haji merupakan pendidikan karakter yang mengajarkan para calon jamaah haji memahami pentingnya ilmu sebelum beramal dan pentingnya mengikuti petunjuk (sunnah) agar ibadahnya diterima Allah SWT menjadi haji mabrur.

Haji mabrur adalah cita-cita tertinggi dari setiap para jamaah yang berhaji ke Baitullah. Allah SWT memberikan ganjaran yang besar dengan pahala surga. Bahkan Nabi SAW mengatakan “tidak ada lagi pahala yang bisa diberikan kepada seorang haji mabrur, kecuali surga.” Inilah puncak kejayaan dari kehidupan manusia. Kesuksesan yang tiada bandingannya dengan apapun bahkan dengan dunia dan seisinya sekalipun. Kesuksesan yang akan menghantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Oleh karena kebahagian itulah setiap muslim antusias berbondong bondong ingin mencarinya menjadi tamu Allah datang ke Baitullah walaupun membayar mahal ongkosnya dan rela antri sampai bertahun-tahun lamanya. Bahkan meninggalnya di tanah suci (Makkah dan Madinah) saat menjadi tamu Allah merupakan idaman dan cita-cita.

Pertanyaannya adalah apa itu haji mabrur dan bagaimana seorang jamaah haji bisa mendapatkan haji mabrur? Apakah setiap orang yang berangkat berhaji atau umroh akan dapat pahala mabrur? Belum tentu, semua akan bergantung kepada niat, syarat dan ketentuan syar’i yang dita’ati. Banyak orang menyangka bahwa haji mabrur itu adalah mereka yang menjalankan ibadah hajinya baik-baik saja dan pulang selamat tanpa kendala. Padahal mabrur dalam berhaji ukurannya bukan semata-mata ketika berada di tanah suci.

Yahya bin Syarf An Nawawi dalam Dar Ihya' At Turots memberikan definisi tentang mabrur. Ia katakan bahwa, “haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata “birr” yang bermakna ketaatan. Haji mabrur adalah haji yang diterima. Diantara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan menghindari kemaksiatan. Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat dan ia tetap berada dalam ketaatannya seperti ia berada ditanah suci.”

Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadits, Nabi SAW ditanya tentang makna haji mabrur. Nabi SAW menjawab, “haji mabrur adalah engkau memberi makan dan menebarkan salam (kedamaian)”. Hadits ini dinilai oleh para perawi hadits sebagai hadits mungkar. Namun disisi lain Al Hakim dalam kitab Mustadraknya menyampaikan sebuah hadits sohih dengan makna yang serupa, Nabi SAW mengatakan; “haji mabrur adalah engkau memberi makan dan santun ketika berbicara”.

Kedua hadits ini setidaknya memberikan gambaran tentang makna haji mabrur sebagai sebuah nilai dampak dari ibadah haji saat mulai ia berniat (ihrom) haji hingga ia kembali ke kampung halamannya berubah menjadi seorang yang taat kepada aturan Allah SWT, dermawan, baik hati, dan mampu menjaga hati dan lisannya.

Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang yang sedang berhaji melakukan kemaksiatan lisan yang meliputi dosa rofatsa, fusuqa dan jidal sebagaimana larangan ini Allah SWT sebutkan dalam al Quran surat Al Baqarah: 197; “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka ia tidak boleh berkata jorok (kotor), berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”.

Makna rofats adalah perkataan kotor, jorok, yang mengarah kepada syahwat dan birahi. Termasuk dosa rofats dalam berhaji adalah sesuatu yang mengikutinya seperti mencuri-curi pandangan kepada lawan jenis, bersentuhan dengan lawan jenis hingga memancing persetubuhan (sekalipun dengan muhrimnya yang sah).

Hakekat al-fusûq bermakna fasiq adalah perbuatan maksiat secara keseluruhan. Lebih spesifiknya adalah larangan mencela dan menyakiti hati orang lain. Baik dengan perkataan, perbuatan ataupun tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan yang berhujung kepada perbuatan mendzolimi orang lain. Seperti menghina, membully, mengambil apalagi sampai merampas hak orang lain. Al-fusûq juga bermakna merusak, baik merusak sebagian kecil apalagi dalam sekala yang besar. Seperti mencabut rumput (tanaman) apalagi mengekspoitasi lingkungan yang menyebabkan kerusakan alam. Sebab kemaksiatan-kemaksiatan itu akan berdampak buruk terhadap ibadah hajinya, pribadi serta alam lingkungannya.

Larang ketiga dalam berhaji adalah al-jidâl. Artinya perdebatan kusir yang mengarah kepada pertengkaran dan pertikaian. Jidâl dilarang karena akan memantik timbulnya keburukan-keburukan dan menjerumuskan kepada permusuhan.

Jika kita cermati, ketiga larangan dalam berhaji tersebut sesungguhnya adalah dosa keseharin manusia pada umumnya. Terjadinya pelecehan seksual, tindakan asusila sampai pada perbuatan perzinahan ditengah-tengah masyarakat lebih banyak diawali dari dosa tidak mampu menjaga lisannya. Tatapan mata dan totntonan yang tidak baik juga mendorong pada perbuatan zina.

Termasuk didalamnya adalah ghibah, namimah sampai berujung kepada fitnah adalah serangkaian dosa rofats dalam keseharian masyarakat pada umumnya. Bahkan berdebat saling melecehkan, menjatuhkan dan merendahkan orang lain sampai ditonton dan disaksikan publik menjadi bagian yang tak bisa dielakkan dari dosa-dosa jidal keseharian masyarakat kita diera keterbukaan teknologi informasi, digital dan media sosial.

Pendidikan haji sesungguhnya adalah cara Allah SWT untuk meredam kekacauan masalah yang dihadapi umat manusia. Emosi yang tak terkendali, egoisme, keserakahan, gila jabatan, ketenaran dan setumpuk penyakit cinta dunia adalah akar masalah yang menyebabkan manusia jatuh ke lembah yang hina. Berhaji adalah proses pensucian jiwa manusia untuk membersihkan penyakit-penyakit cinta dunia. Thowaf, Sa’i, mabit di Arafah dan serangkaian rukun haji lainnya merupakan proses spiritual kepasrahan makhluk terhadap sang Kholik.

Bak kawah candra dimuka, di tanah harom para jamaah haji melakukan proses pensucian jiwa. Siapa saja yang datang serius menghadap Allah SWT maka ia akan mendapatkan kekuatan energi positif dan dijadikannya orang suci. Pada “orang-orang suci” inilah sesungguhnya Allah SWT harapkan mereka untuk menjadi agen kesolehan yang dapat menyampaikan pesan-pesan langit untuk sebuah perubahan bagi kesolehan sosial masyarakatnya.

Maka menjadi haji mabrur adalah ketika para tamu Allah yang datang ke Baitullah membawa bekal amal kebaikan dan pulang dari berhaji di Baitullah ia tetap menjadi orang baik, mampu menebarkan kebaikan dalam kesolehan sosialnya dan istiqamah dalam ketaatan serta amal solehnya. Semoga para jamaah haji Indonesia diberikan kelancaran dalam ibadahnya, keselamatan dalam perjalanan pulangnya dan dijadikan haji mabrur.(*)

Tag :

Berita Terkait