Opini

Luka Mental yang Tak Terlihat akibat Bullying di Sekolah

bullying

Oleh : 

Yulia Enshanty, S.Pd (Mahasiswa Magister Pendidikan Geografi Pasca Sarjana Universitas Siliwangi, Guru Geografi SMA di Kabupaten Sukabumi)

Di balik keceriaan dunia pendidikan, terdapat sisi kelam yang sering terabaikan, yaitu bullying atau perundungan. Dewasa ini kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah semakin marak dan sudah semakin memprihatinkan, korban bullying ada yang mengalami kecacatan bahkan meninggal dunia. Perilaku intimidasi yang terjadi di lingkungan sekolah ini tak hanya membawa luka fisik, tetapi juga meninggalkan bekas mendalam pada mental anak.

Bullying tak hanya sebatas pukulan dan caci maki, bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti:

Verbal: Menghina, mengejek, meneriaki, mengancam, dan menyebarkan rumor

Fisik: Memukul, menendang, mendorong, mencubit, dan merusak barang.

Emosional: Memberikan silent treatment, mengucilkan, dan memanipulasi secara emosional.

Cyberbullying: Menghina, melecehkan, dan menyebarkan informasi pribadi melalui media sosial, pesan teks, dan email.

Bullying, atau perundungan, merupakan masalah yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab. Berikut beberapa faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya bullying di sekolah:

Faktor Individu

Anak yang memiliki penampilan berbeda, memiliki kebutuhan khusus, atau memiliki masalah mental lebih rentan menjadi korban bullying.

Anak yang memiliki temperamen mudah marah dan impulsif lebih mudah melakukan bullying.

Anak yang sedang mencari jati diri dan ingin diterima oleh kelompok tertentu mungkin melakukan bullying untuk meningkatkan status sosial mereka.

Anak yang pernah menjadi korban bullying di masa lalu lebih berisiko menjadi pelaku bullying di masa depan.

Faktor Keluarga

Anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua atau orang dewasa di sekitarnya lebih rentan menjadi korban maupun pelaku bullying.

Anak yang tinggal di lingkungan yang di dalamnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lebih berisiko melakukan bullying.

Orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan yang otoriter dan kurang memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri dapat meningkatkan risiko bullying.

Faktor Sekolah

Kurangnya pengawasan dari guru dan staf sekolah dapat memberikan peluang terjadinya bullying.

Budaya sekolah yang menganggap bullying sebagai hal yang wajar dan tidak adanya sanksi tegas bagi pelakudapat meningkatkan risiko terjadinya bullying.

Kurangnya edukasi tentang bullying bagi siswa, guru, dan staf sekolah dapat menyebabkan kurangnya pemahaman tentang bahaya bullying dan bagaimana  cara mencegahnya.

Faktor Masyarakat

Budaya kekerasan yang berkembang di masyarakat dapat memicu perilaku bullying di sekolah.

Kurangnya edukasi publik tentang bahaya dan dampak negatif bullying dapat menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan

Dampak bullying pada mental anak tidak boleh diremehkan, karena akan menimbulkan dampak yang negatif yang akan membekas sepanjang hayatnya. Korban bullying dapat mengalami rasa takut, cemas, dan sedih yang berkepanjangan. Hal ini dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup anak. Perasaan tidak berharga dan tidak mampu juga dapat muncul dalam diri anak yang menjadi korban bullying Jika tidak mendapatkan penanganan, perkembangan mental dan sosial anak dapat terhambat. Pengalaman traumatis akibat bullying dapat meninggalkan luka mental yang mendalan dan sulit untuk dihilangkan. Bahkan dalam kasus ekstrem, bullying dapat mendorong anak yang menjadi korban  untuk menyakiti diri sendiri bahkan ada yang sampai bunuh diri.

Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari bullying ini sangat berbahaya, maka peran aktif berbagai pihak dalam mencegah dan menangani bullying menjadi hal yang penting. Di lingkungan rumah, orang tua harus bisa menciptakan komunikasi terbuka dengan anak, mengajarkan cara menghadapi bullying, dan memberikan dukungan moral kepada anak.

Di lingkungan sekolah perlu dilakukan pengawasan yang aktif, misalnya diadakan edukasi tentang bullying, dan menciptakan budaya anti-bullying. Selain itu seluruh komponen sekolah juga harus berperan aktif dalam mencegah terjadinya bullying, dengan cara membuat kebijakan anti-bullying yang tegas dan tidak pandang bulu, menyediakan saluran pelaporan bullying, dan mengadakan program konseling untuk korban dan pelaku bullying. Dengan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman, anak-anak dapat belajar dan berkembang dengan optimal, tanpa rasa takut dan trauma akibat bullying.

Tag :

Berita Terkait