SUBANG - Kasus penerbitan sertifikat hak milik (SHM) di wilayah perairan laut kembali menjadi sorotan, kali ini di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sebelumnya, kasus serupa muncul di kawasan laut Tangerang. Di Subang, ratusan hektare perairan laut di Desa Pangarengan, Kecamatan Legonkulon, tepatnya di laut Cirewang, diduga telah bersertifikat SHM yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Subang.
Luas wilayah yang dimaksud mencapai 460 hektare, dan penerbitan sertifikat tersebut diduga melibatkan pencatutan nama ratusan warga setempat tanpa sepengetahuan mereka. Warga yang namanya dicatut kebanyakan tinggal di sekitar Pelabuhan Patimban, dan hal ini dianggap sebagai upaya pihak tertentu untuk memuluskan rencana reklamasi di wilayah tersebut.
Dugaan Reklamasi dan Perlawanan Warga
Rencana reklamasi di perairan laut Cirewang menimbulkan penolakan keras dari nelayan setempat yang menggantungkan hidup mereka pada laut. Mereka menilai reklamasi akan merusak ekosistem laut serta mengancam mata pencaharian mereka. Salah satu nelayan, Jakaria, mengatakan bahwa pihak yang mengklaim kepemilikan laut kerap mencoba memulai aktivitas reklamasi dengan menurunkan alat berat, namun selalu dihadang oleh warga.
“Pihak yang mengklaim kepemilikan laut itu disebut beberapa kali mencoba menerjunkan beko, untuk memulai aktivitas reklamasi. Namun, setiap upaya itu selalu mendapatkan perlawanan dari warga,” tegas Jakaria, Selasa (28/1/2025).
Warga yang namanya dicatut dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tahun 2021 mengaku tidak mengetahui apa pun terkait penerbitan sertifikat tersebut. Mereka bahkan tidak pernah mengajukan permohonan atau menyerahkan dokumen seperti KTP atau KK.
“Gak pernah diminta KTP atau KK, gak tau juga tiba-tiba ada kabar dapat sertifikat. Tapi sampai sekarang gak pernah pegang sertifikatnya. Bibi saya juga sama gitu,” ujar Taryana, salah satu warga yang namanya dicatut.
Kemiripan dengan Kasus Tangerang
Asep S. Toha, seorang aktivis lingkungan, mengungkapkan bahwa kasus di Subang memiliki pola yang mirip dengan kasus di perairan laut Tangerang. Fakta bahwa mantan Kepala Kantor ATR/BPN Tangerang pernah menjabat di Subang menambah dugaan adanya hubungan antara kedua kasus tersebut.
Menurut Asep, BPN telah menerbitkan 500 bidang sertifikat hak milik di kawasan laut Cirewang. “Itu diakui oleh BPN. Akhirnya, kami melaporkan ke Kejaksaan Agung, dan Kejaksaan Agung melalui surat rekomendasinya menyatakan bahwa SHM TORA itu harus dibatalkan karena cacat prosedural, cacat hukum, dan cacat administrasi,” ungkap Asep.
Keputusan Pembatalan yang Belum Tuntas
Pada tahun 2023, ATR/BPN Jawa Barat akhirnya membatalkan seluruh sertifikat yang diterbitkan melalui program TORA tersebut. Namun, hingga kini, sertifikat-sertifikat yang telah dinyatakan cacat hukum tersebut belum ditarik kembali. Kondisi ini meninggalkan ketidakjelasan bagi warga yang terdampak, sekaligus membuka ruang bagi konflik berkepanjangan.
Polemik ini tidak hanya mengungkapkan kerentanan sistem administrasi pertanahan, tetapi juga potensi kerugian besar bagi masyarakat pesisir. Selama proses hukum dan administrasi belum tuntas, warga nelayan tetap harus berjibaku menghadapi ancaman terhadap laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.