PURWAKARTA-Industri keramik asal Plered, Kabupaten Purwakarta kena imbas kebijakan tarif impor AS.
Eman Sulaeman (55), salah satu pengrajin senior di sentra keramik Plered mengaku, hingga kini belum menerima kepastian order dari Amerika Serikat sejak terakhir kali mengikuti pameran furnitur internasional IFEX pada 10 Maret 2025 lalu.
"Biasanya Amerika melakukan repeat order atau pemesanan berulang, minimal setahun tiga kali. Tapi sekarang, satu pun belum ada kabarnya," kata Eman kepada wartawan, Sabtu (26/4).
Ia menyebutkan, biasanya ekspor ke Negeri Paman Sam mencapai tiga kontainer per tahun dengan nilai sekitar Rp500 juta hingga Rp600 juta. Namun, tahun ini, angkanya masih nol.
Pukulan ini sangat terasa, padahal sebelumnya ia sempat optimistis tren ekspor akan naik.
"Saya pikir bakal naik jadi sepuluh kontainer, ternyata yang tiga saja hilang," ujar Eman yang sudah terjun ke dunia keramik sejak 1993 itu.
Akibatnya, potensi kerugian mencapai setengah miliar rupiah pun tak terhindarkan.
Model keramik vas bunga yang biasa diekspor ke luar negeri kini hanya terpajang di toko milik Eman yang berada di Jalan Raya Anjun No 53B, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta.
Eman menduga, kebijakan tarif impor yang diberlakukan pemerintah AS sejak era Trump masih berimbas hingga kini.
"Mungkin ini efek dari kebijakan itu juga, kami tunggu saja tiga bulan ke depan," ucapnya sambil berharap ada angin segar.
Untuk sementara, ia dan para pengrajin lain terpaksa memutar haluan ke pasar lokal. "Sekarang 70 persen ke lokal, sisanya baru kami coba ke ekspor, utamanya ke Eropa," ucapnya.
Meski begitu, ia menyebut pasar lokal belum mampu menutup kerugian dari pasar ekspor yang terhambat.
Lebih memilukan lagi, dampaknya mulai dirasakan para pekerja. "Sudah satu bulan belum ada order. Baru satu dari tiga kelompok kerja yang bisa beroperasi, itu pun hanya untuk pasar lokal. Yang biasanya 20 orang yang mengerjakan, kini hanya tujuh orang sudah cukup," katanya.
Eman dan pengrajin lain di Plered kini hanya bisa berharap situasi segera membaik. "Kalau tidak ada perubahan, bukan cuma angka ekspor yang turun, nasib para pengrajin bisa ikut tenggelam," katanya.
Terpisah, Kepala UPTD Litbang Keramik Plered Mumun Maemunah mengatakan, para pengrajin kini menghadapi tantangan berat, yaitu kebijakan tarif impor baru dari pemerintah Amerika Serikat yang menyebabkan ekspor tersendat.
Padahal, sambungnya, produk para pengrajin sudah menembus pasar internasional dengan ekspor ke negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Prancis, Polandia dan negara Eropa lainnya.
"Pada 2024 kami berhasil mengekspor 15 kontainer ke berbagai negara. Tapi, 2025 ini, dari Januari hingga April, baru dua kontainer yang bisa dikirim," ujar Mumun.
Penurunan signifikan ini bukan tanpa sebab. Mumun menilai, kebijakan baru dari pemerintah AS yang menaikkan tarif impor membuat para pembeli di sana menunda jadwal pengiriman barang yang seharusnya sudah siap kirim.
"Barang-barang yang sudah selesai diproduksi tertahan, karena buyer menunggu kejelasan tarif. Ini jelas membuat pelaku usaha keramik di Plered rugi besar," ucap Mumun.
Menurunnya ekspor bukan hanya berdampak pada angka perdagangan, tapi juga mengancam kesejahteraan para pekerja di sentra keramik tersebut.
"Pasar lokal tidak cukup kuat menyerap seluruh hasil produksi kami. Kalau ekspor terganggu, maka roda ekonomi kami pun terguncang," katanya.
Mumun menyebutkan, tahun lalu dari total 15 kontainer ekspor, sekitar enam kontainer dikirim ke Amerika Serikat.
Tahun ini, justru seluruh ekspor yang sempat berjalan hanya ke negara tersebut. Ironisnya, pasar Amerika yang dulu jadi harapan kini justru jadi hambatan.
Merespons situasi ini, Pemerintah Kabupaten Purwakarta melalui dinas terkait tengah berupaya menjembatani permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha.
"Kami sedang berkoordinasi dengan Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan, dan Perindustrian agar bisa menyampaikan aspirasi dan kesulitan ini ke pemerintah pusat, agar bisa ada solusi atau bahkan negosiasi dagang," ujar Mumun.(add)