Oleh : Ujang Heri Syamsudin, S.Pd.I.,MM.
(Kepala SMK Miftahul Bariyyah Tanjungsiang Subang)
Dalam kehidupan sosial, fenomena "mendadak religius" kerap terlihat di berbagai kesempatan. Banyak orang tiba-tiba menunjukkan sikap religius pada momen-momen tertentu seperti bulan Ramadan, hari raya keagamaan, atau saat menghadapi musibah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa religiusitas seseorang bisa muncul secara mendadak dan tidak konsisten dalam keseharian?
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi fenomena ini adalah lingkungan sosial. Ketika masyarakat secara kolektif menjalankan ibadah, seseorang cenderung terdorong untuk ikut serta. Misalnya, di bulan Ramadan, atmosfer religius sangat kuat, mulai dari siaran televisi bernuansa Islami hingga meningkatnya aktivitas ibadah bersama. Hal ini membuat seseorang lebih mudah terpengaruh untuk mendadak menjadi lebih religius.
Selain pengaruh sosial, ada pula aspek psikologis yang berperan. Banyak individu yang mendekatkan diri kepada agama saat menghadapi masalah atau kesulitan hidup. Dalam situasi sulit, agama sering kali menjadi tempat pelarian dan sumber ketenangan batin. Sebaliknya, saat kondisi membaik, banyak yang kembali pada kebiasaan lama tanpa mempertahankan tingkat religiusitas yang sama.
Faktor budaya juga turut memengaruhi pola ini. Di banyak komunitas, religiusitas kadang dianggap sebagai simbol moralitas yang perlu diperlihatkan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, saat perayaan hari besar agama, seseorang merasa perlu untuk menampilkan citra yang lebih religius, baik melalui pakaian, ucapan, maupun aktivitas ibadah.
Media juga memiliki peran dalam membentuk pola religiusitas musiman ini. Program televisi, iklan, hingga media sosial sering kali menampilkan konten-konten religius pada momen tertentu, yang secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam tren tersebut. Sayangnya, ketika euforia momen itu berlalu, banyak yang kembali ke gaya hidup seperti sebelumnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek ekonomi juga berpengaruh. Banyak pelaku usaha yang memanfaatkan momen keagamaan untuk meningkatkan keuntungan, seperti bisnis busana muslim, kuliner halal, dan pariwisata religi. Hal ini secara tidak langsung membentuk kebiasaan religius yang lebih bersifat momentum daripada konsistensi keyakinan.
Meskipun mendadak religius dapat berdampak positif dalam meningkatkan kesadaran spiritual, perlu ada upaya untuk menjadikannya sebagai kebiasaan yang berkelanjutan. Konsistensi dalam menjalankan ajaran agama tidak seharusnya terbatas pada momen-momen tertentu saja, tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan dan pembinaan keagamaan memiliki peran penting dalam membangun kesadaran ini. Jika nilai-nilai religius diajarkan secara mendalam dan berkesinambungan sejak dini, maka seseorang akan lebih cenderung untuk menjadikan agama sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar tradisi tahunan.
Pada akhirnya, menjadi religius bukan sekadar mengikuti tren atau tuntutan sosial, tetapi tentang keyakinan yang dijalankan dengan tulus dan konsisten. Dengan memahami alasan di balik fenomena ini, diharapkan masyarakat dapat lebih introspektif dan menjadikan spiritualitas sebagai bagian dari keseharian, bukan sekadar fenomena musiman.(*)