Headline

Polemik Penggusuran Bangunan Liar di Tanah Pemprov Jabar

Pemprov Jabar
PENATAAN KEMBALI: Aktivitas penggusuran bangunan di Jalan Raya Rawalele-Dawuan, Subang. Bangunan tersebut berdiri di atas lahan milik Pemprov Jabar.

SUBANG-Belakangan ini warga di Kecamatan Dawuan tengah diramaikan dengan aktivitas penggusuran bangunan di Jalan Raya Rawalele-Dawuan.  

Penggusuran tersebut dilakukan berdasarkan instruksi dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi sebagi upaya penertiban di wilayah tersebut. Bangunan yang digusur kebanyakan berstatus liar atau ilegal. 

Gubernur dengan sapaan KDM itu pun melalui bank bjb telah menyalurkan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak, bahkan beberapa dari mereka rela membongkar bangunannya dengan sukarela. 

Akan tetapi hal ini masih menimbulkan polemik di kalangan masyarakat daerah Dawuan. Sebab, pemilik bangunan berizin dan bersertifikat pun mengaku masih dibayang-bayangi oleh penggusuran yang dilakukan. 

Salah satu pemilik di Dawuan, Wisnu menjelaskan bagaimana status dari rumahnya tersebut. Dia menjelaskan soal status bagian belakang dari rumahnya yang saat ini merupakan bagian dari lahan milik Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Provinsi Jawa Barat. 

"Jadi tanah yang belakang ini awalnya dikelola oleh PT Jasa Tirta (PJT), setelah itu kewenangannya diambil oleh PSDA," ucapnya kepada Pasundan Ekspres, Senin (28/4/2025). 

Oleh sebab itu, belakangan ini dirinya dan keluarga mendapatkan surat teguran dari PSDA mengenai penggunaan lahan tersebut. 

"Setelah surat ini turun di tahun 2025, tepatnya sebelum lebaran, kita tidak pernah ditanya lagi soal pembayaran atau penagihan. Jadi selama kita menempati lahan ini dalam keadaan sudah dibangun, kita sambung kontrak tersebut untuk bagian belakang ini ke PJT setiap tahun," ucapnya sambil memperlihatkan kwitansi pembayaran dari PT Jasa Tirta. 

Melihat situasi ini, ia mengaku bingung dan khawatir dengan status kepemilikan dari lahan tersebut walaupun dirinya memiliki beberapa bukti seperti kontrak dan lainnya. 

"Kita ada kontraknya, addendum, dan segala macamnya. Tapi tidak tahu juga awalnya karena ini kan peralihan dari pemilik sebelumnya, tapi kami teruskan tiap tahun" ucapnya. 

Ia mengatakan, apabila memang terdapat kerancuan status pada bagian belakang rumahnya tersebut dan harus digusur, ia dan keluarganya sudah pasrah, tapi dengan catatan perlu ada kejelasan selama ini soal penagihan yang selama ini dilakukan. 

"Kami bukannya ingin menghalang-halangi pemerintah dalam melakukan penertiban, silahkan saja, tapi tolong beri kami penjelasan terkait status tanah yang di belakang ini selama ini," ucapnya. 

Selanjutnya, ia pun menjelaskan mengenai status dari bagian depan rumahnya tersebut. Dirinya mengatakan bahwa bagian itu dibeli dalam berbentuk bangunan dan bersertipikat. 

"Untuk yang bagian depan ini kita beli sudah berbentuk bangunan dan bersertipikat, meskipun sekarang sertipikat aslinya ada di bank," ucapnya sambil memperlihatkan salinan sertifikat miliknya. 

Akan tetapi Wisnu bilang terdapat suatu pernyataan dari salah satu pejabat tingkat wilayah yang mengatakan sertifikat tersebut statusnya masih dipertanyakan. 

Hal tersebut membuat masyarakat yang memiliki situasi serupa pun ikut resah karena takut ikut digusur. 

"Ada statement yang membuat kita resah ketika salah satu tetangga kita yang sama-sama memiliki sertifikat bertanya kepada salah satu pejabat tingkat wilayah yang kebetulan sedang di kantor desa saat itu soal penggusuran bangunan yang bersertifikat, pihak tersebut menjawab katanya sertifikatnya itu pun tanda tanya. Itu yang bikin kami khawatir," ucapnya. 

Hal ini yang membuat mereka terus dibayang-bayangi oleh penggusuran setiap harinya. Wisnu mengungkapkan terdapat sekitar 16 kepala keluarga yang memiliki sertifikat bangunan di area tersebut, termasuk Rumah Makan Hegarsari. 

Mengenai ketidakpastian itu, ia menerima informasi bahwa nantinya akan ada dialog untuk membahas permasalahan hal tersebut. 

"Jadi yang punya setipikat ini belum mendapat kepastian apakah ikut digusur atau tidak, hanya infonya dari camat, akan ada dialog dulu dengan gubernur," ucapnya. 

Namun, belum ada kepastian kapan dialog itu akan dilaksanakan. Maka dari itu, ia berharap dialog tersebut bisa segera dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat kepastian yang jelas. 

"Kalau pahit-pahitnya bangunan bersertipikat ini ikut tergusur untuk kelancaran program pemerintah tidak keberatan, tapi harus ada dialog dulu. Karena perlu dipertimbangkan juga kerugiannya, karena kita beli ini juga lumayan," ucapnya.

 

Jadi Sorotan Anggota DPRD Jabar

Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Bayu Satya Prawira, menekankan pentingnya seluruh tindakan pemerintahan, termasuk penggusuran, dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

“Setiap tindakan di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum, berdasarkan asas kepastian hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum,” ujar Bayu Satya kepada Pasundan Ekspres Senin (28/4/2025).

Bayu menyoroti bahwa seluruh pejabat, termasuk kepala daerah, harus tunduk pada peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya. 

Ia menjelaskan, menurut Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengharuskan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Setiap penyimpangan atau tindakan di luar ketentuan hukum dapat dikenakan sanksi administratif, pidana, hingga pemberhentian dari jabatan,” jelasnya.

Bayu juga menyoroti pendekatan yang dilakukan dalam penggusuran di Dawuan. Ia menyayangkan bila langkah pengosongan bantaran sungai yang dilakukan hanya dengan pemberitahuan singkat tanpa pendekatan persuasif.

“Memang secara aturan harus ditegakkan, tetapi Pemprov dan Pemda seharusnya lebih dulu mengkaji alasan warga menempati bantaran sungai. Apakah ada alas hak atau upaya mencari penghidupan di situ? Jangan hanya mengirimkan surat pemberitahuan satu dan dua, lalu langsung melakukan penggusuran. Pemerintah harus hadir untuk melindungi rakyat, bukan justru membuat masyarakat resah,” tegas Bayu.

 

Pemilik Bangunan Dapat Kompensasi Rp5 Juta 

Mak Enin, seorang penjual nasi timbel yang sudah berjualan di kawasan tersebut selama lebih dari 10 tahun, menyampaikan bahwa para pedagang telah diberi uang santunan sebesar Rp 5 juta sebagai bekal selama masa penertiban. 

“Kami dikasih Rp5 juta buat bekal, katanya sambil nunggu penataan. Tapi harapan kami, nanti bisa jualan lagi di tempat yang sudah ditata,” ujar Mak Enin.

Menurutnya, banyak pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari warung-warung yang berdiri di sepanjang Jalan Raya Rawalele-Dawuan.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Bupati Subang Reynaldy telah menyampaikan, penataan ini bertujuan untuk menciptakan kawasan yang lebih layak dan tertib, tanpa mengabaikan nasib para pedagang kecil.

Sementara itu, proses pembongkaran bangunan dilakukan secara bertahap dengan melibatkan Satpol PP dan aparat gabungan. Sejauh ini, proses berlangsung kondusif meski beberapa pedagang masih terlihat emosional saat melihat tempat usaha mereka diratakan.

Warga sekitar menilai penataan ini merupakan langkah tepat untuk menertibkan kawasan yang selama ini dianggap rawan dan kurang tertib. 

Namun, mereka juga mendukung agar pedagang tidak dibiarkan begitu saja, melainkan diberi kesempatan berusaha kembali secara legal dan terorganisir.

Mereka berharap upaya penataan ini tak hanya menghadirkan keindahan kawasan, tetapi juga menjamin keberlangsungan hidup warga kecil yang menggantungkan hidup dari usaha tersebut.(fsh/cdp/znl/ysp)

Terkini Lainnya

Lihat Semua