PASUNDAN EKSPRES - Satu bulan setelah Israel memutus aliran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, situasi kemanusiaan di wilayah tersebut mengalami kemunduran drastis.
Dua juta warga sipil di Gaza kini menghadapi ancaman kelaparan, kurangnya akses air bersih, serta kondisi hidup yang semakin tidak layak akibat serangan militer intensif dari Israel.
Pemutusan Bantuan dan Dampaknya
Israel memutus aliran makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya menjelang ofensif militer yang diluncurkan pada Maret 2025.
Langkah ini diambil sebagai upaya menekan kelompok Hamas untuk melepaskan sandera dan menerima syarat baru dalam perpanjangan gencatan senjata
Israel juga menuduh bahwa Hamas menyita dan mengalihkan bantuan kemanusiaan. Bahkan, tuduhan tersebut sempat dikonfirmasi oleh pemerintah Amerika Serikat pada Mei tahun lalu.
Namun, pemutusan total suplai bantuan berdampak langsung terhadap kehidupan jutaan warga Gaza. Dilansir dari CNN, Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa semua 25 toko roti subsidi di Gaza terpaksa ditutup akibat kekurangan gas masak dan tepung.
Lebih dari satu juta orang tidak menerima paket bantuan makanan pada bulan Maret, dan stok makanan panas diperkirakan hanya cukup untuk dua minggu ke depan.
Sementara itu, sebanyak 89.000 ton makanan kini tertahan di luar Gaza karena blokade penuh yang dilakukan Israel.
Krisis Air dan Sanitasi
Selain kekurangan makanan, krisis air bersih juga menjadi masalah besar. Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), dua pertiga rumah tangga di Gaza tidak dapat mengakses enam liter air minum per hari.
Infrastruktur air yang sempat membaik selama masa gencatan senjata kini rusak kembali dan sulit diperbaiki di tengah konflik yang terus berlangsung.
Kondisi ini berdampak buruk pada sanitasi, terutama di kamp-kamp pengungsian sementara yang kini dipenuhi oleh kutu dan tungau.
Pemindahan Paksa dan Korban Jiwa
Sejak serangan terbaru dimulai pada 18 Maret, lebih dari 400.000 warga Palestina terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Kementerian Kesehatan Gaza mencatat sedikitnya 1.391 warga Palestina, termasuk 505 anak-anak, telah tewas hanya dalam tiga minggu. Ini adalah jumlah korban anak-anak tertinggi dalam satu pekan sepanjang setahun terakhir.
Juru bicara Kota Gaza, Assem Al-Nabeeh mengungkapkan bahwa setelah perintah evakuasi baru-baru ini, warga benar-benar dipindahkan ke mana saja, seperti ke jalan utama, taman umu, dekat tempat pembuangan sampah, bahkan di bangunan yang nyaris runtuh.
Tekanan Internasional dan Respons Pemerintah Israel
Meskipun sebelumnya pemerintahan Biden di Amerika Serikat sempat menekan Israel untuk membuka akses bantuan kemanusiaan, termasuk menunda pengiriman bom, tekanan tersebut kini memudar di bawah administrasi Presiden Donald Trump.
Sebagai respons atas tuduhan penyalahgunaan bantuan oleh Hamas, lembaga Israel yang bertanggung jawab atas koordinasi bantuan ke Gaza, COGAT, menyatakan bahwa diperlukan mekanisme pemantauan dan masuknya bantuan yang terstruktur untuk memastikan bantuan sampai ke warga sipil.
Kondisi Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit
Situasi di fasilitas kesehatan di Gaza juga semakin memburuk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa rumah sakit seperti Al-Shifa kini menerima lebih dari 400 pasien per hari. Di mana angka tersebut hampir tiga kali lipat dari kapasitas normalnya.
Direktur Rumah Sakit Al-Ahli Arab Baptist di Gaza City, Dr. Fadel Naeem, mengatakan bahwa rumah sakitnya kewalahan menerima korban luka dan jenazah setiap harinya. Hanya pada 3 April saja, sebanyak 128 korban luka tiba di rumah sakit.
Karena keterbatasan sumber daya, ruang operasi, dan tenaga medis, rumah sakit terpaksa memprioritaskan pasien dengan kemungkinan bertahan hidup tertinggi. Akibatnya, beberapa pasien tewas saat menunggu perawatan.
(ipa)