Nasional

UKT yang Mahal, Apakah Orang Miskin Dilarang Kuliah?

UKT yang Mahal, Apakah Orang Miskin Dilarang Kuliah? (Sumber Foto Next Policy)
UKT yang Mahal, Apakah Orang Miskin Dilarang Kuliah? (Sumber Foto Next Policy)

PASUNDAN EKSPRES- Pendidikan tinggi di Indonesia sering kali dianggap sebagai jalan menuju perubahan sosial dan mobilitas ekonomi.

Namun, apa yang terjadi jika justru biaya kuliah yang semakin tinggi menjadi hambatan bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi?

Fenomena ini semakin menjadi sorotan, terutama dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus menerus terjadi di berbagai perguruan tinggi, termasuk di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Perdebatan seputar UKT yang mahal menyoroti masalah ketidakadilan akses terhadap pendidikan tinggi.

Dalam berbagai wawancara dan diskusi, koordinator forum advokasi 2024 UGM, Rio Putra Dewanto, menyampaikan bahwa kenaikan UKT di UGM menyulitkan banyak mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Bahkan, ada teman-teman mahasiswa yang harus menunda atau bahkan berhenti kuliah karena tidak mampu membayar UKT yang semakin tinggi.

Pertanyaan mendasar pun muncul: Apakah orang miskin sekarang dilarang kuliah? Kebijakan pendidikan seharusnya memastikan bahwa akses pendidikan tinggi tidak diskriminatif.

Namun, kenaikan UKT yang terus menerus menjadi momok bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah.

Menanggapi hal ini, anggota DPR komisi 10, Andreas Hugo, menyoroti perlunya revisi dalam alokasi dana pendidikan.

Meskipun anggaran pendidikan secara keseluruhan mencapai jumlah yang signifikan, namun bagian dari dana tersebut harus dialokasikan secara tepat sasaran untuk memastikan akses pendidikan yang adil bagi semua kalangan, tanpa terkecuali.

Profesor Cecep Darmawan, seorang pengamat kebijakan pendidikan, menambahkan bahwa kreativitas dalam pengelolaan perguruan tinggi juga penting.

Perguruan tinggi harus mampu menciptakan sumber pendapatan tambahan melalui kreativitas dan inovasi, bukan hanya mengandalkan pada kenaikan UKT sebagai sumber pendapatan utama.

Kritik juga ditujukan pada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan, terutama terkait dengan mekanisme pemberian beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Keterbukaan informasi mengenai kuota beasiswa, kriteria penerimaan, dan cara aksesnya menjadi hal yang sangat penting bagi mahasiswa yang membutuhkan bantuan finansial.

Dalam menanggapi permasalahan ini, ada beberapa solusi yang bisa diusulkan. Pertama, revisi dalam alokasi dana pendidikan, dengan memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk operasional dan investasi pendidikan, serta subsidi bagi mahasiswa yang kurang mampu.

Kedua, perlunya kreativitas dalam pengelolaan perguruan tinggi untuk menciptakan sumber pendapatan tambahan. Ketiga, transparansi dan keterbukaan informasi dalam pemberian beasiswa kepada mahasiswa.

Dengan demikian, UKT yang mahal seharusnya tidak menjadi penghalang bagi mereka yang ingin mengejar impian melalui pendidikan tinggi.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap menjadi hak yang dapat diakses oleh semua orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi.

Berita Terkait