Makna di Balik Ramainya Pengibaran Bendera One Piece Menjelang HUT RI ke-80

Makna di Balik Ramainya Pengibaran Bendera One Piece Menjelang HUT RI  ke-80

Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025, aksi sebagian masyarakat yang mengibarkan bendera One Piece menarik perhatian publik

Dalam kehidupan nyata, aksi pengibaran bendera One Piece belakangan ini dianggap sebagai wujud ekspresi masyarakat, baik sebagai bentuk kecintaan terhadap budaya pop maupun sebagai sindiran atau kritik terhadap situasi sosial dan pemerintahan.

Meski demikian, Peneliti Kebijakan Publik Riko Noviantoro mengingatkan bahwa masyarakat tetap harus menyadari adanya batasan hukum terkait penggunaan simbol-simbol tertentu, khususnya ketika bertepatan dengan peristiwa kenegaraan.

“Jika ditemukan pelanggaran terhadap pelecehan pada bendera Merah Putih, maka berpotensi dikenakan sanksi. Ini yang kiranya publik juga memahami,” ujar Riko, Kamis (31/7/2025).

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mengatur secara rinci tata cara pengibaran bendera negara, termasuk penempatan serta perlakuan terhadap bendera Merah Putih.

Jika dikibarkan bersamaan dengan bendera lain, Merah Putih wajib ditempatkan pada posisi paling tinggi dan memiliki ukuran paling besar.

Pasal 21 menegaskan bahwa simbol negara tidak boleh kalah secara visual oleh bendera lain.

Sementara itu, Pasal 24 melarang segala bentuk perlakuan yang dianggap tidak menghormati bendera, seperti merusaknya, menginjaknya, atau mencetak gambar di atas kain Merah Putih.

“Secara pribadi, munculnya bendera One Piece tidak boleh lebih tinggi dari Merah Putih. Karena bendera Merah Putih menjadi bagian dari lambang kesatuan negara,” tegas Riko.

Apabila terjadi pelanggaran, pelaku dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 66, yang menetapkan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp500 juta bagi siapa pun yang menghina bendera negara.

 

Antara Kritik Sosial dan Potensi Pelanggaran

Di sisi lain, Riko memandang fenomena ini sebagai cerminan kekecewaan masyarakat terhadap situasi pemerintahan saat ini, bukan sekadar bentuk apresiasi terhadap budaya pop.

“Munculnya bendera One Piece merupakan simbol kritik publik terhadap situasi sosial. Tentu kritik itu lebih ditujukan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara,” jelasnya.

Ia membandingkan fenomena ini dengan kemunculan simbol Garuda bertuliskan “Indonesia Darurat” yang sempat menjadi perbincangan hangat di masyarakat beberapa waktu lalu.

Riko mengingatkan bahwa pemerintah sebaiknya tidak serta-merta memandang ekspresi masyarakat sebagai pelanggaran, melainkan juga sebagai bentuk aspirasi dan kritik yang bisa menjadi bahan evaluasi kebijakan.

Penggunaan simbol budaya pop seperti bendera One Piece merupakan bagian dari dinamika sosial yang berkembang.

Namun, saat ekspresi tersebut hadir di ruang publik dan bersinggungan dengan simbol-simbol negara, penting bagi masyarakat untuk memahami batasan yang ada dan tetap berhati-hati agar tidak menyinggung atau merendahkan lambang negara.

(dbm)


Berita Terkini