BANDUNG-Terpidana kasus Vina mengajukan grasi ke Presiden pada 2019 silam atas inisiatif pegawai Lapas Cirebon. Hal itu diungkapkan pengacara para terpidana, Fredy Panggabean.
Fredy mengatakan, informasi tersebut ia dapat setelah bertemu dengan dua terpidana yakni Eko dan Jaya di Lapas Narkotika Jelekong beberapa waktu lalu. Keduanya membenarkan bahwa telah menandatangani grasi.
"Waktu itu mereka dianggap oleh lapas berkelakuan baik sehingga ditawarkan grasi dengan iming-iming hukuman bisa turun," kata Fredy saat berbincang dengan Kang Dedi Mulyadi (KDM).
Menurutnya saat itu para terpidana diberikan draf dari seorang pegawai lapas bernama Hendra. Draf tersebut kemudian disalin dan ditandatangani oleh para terpidana tanpa sepengetahuan keluarga maupun kuasa hukum.
Ia pun memberikan penjelasan pada para terpidana bahwa mengajukan grasi sama dengan mengakui segala perbuatannya yakni melakukan pembunuhan terhadap Vina dan Eky. Tujuan grasi sendiri adalah meminta pengampunan pada presiden.
"Saya tanyakan kamu berbuat gak? Mereka jawab tidak pernah berbuat seperti yang dituduhkan. Kalau mereka tahu bahwa itu pengakuan pasti tidak akan ditandatangani," ucapnya.
Saat disinggung soal draf, Fredy mengatakan terpidana hanya menyalin saja tanpa tahu fungsi dan tujuan grasi tersebut. Terlebih kliennya, Jaya, kesulitan untuk baca dan tulis karena hanya sekolah hingga kelas 2 SD.
"Yang pasti ini merugikan terpidana karena mereka tidak melakukan perbuatan tapi disuruh mengaku dan minta pengampunan melalui grasi," ucapnya.
Untuk itu dalam waktu dekat tim kuasa hukum dari Peradi akan meminta klarifikasi ke pihak Lapas Cirebon terutama pada pegawai yang bernama Hendra.
Sementara itu KDM mempertanyakan motif dari pihak lapas menyodorkan draf grasi. Apakah hal itu atas inisiatif sendiri atau ada peran pihak lain yang bermaksud menyempurnakan sebuah skenario.
Ia berharap dengan penjelasan sejarah pengajuan grasi tersebut tidak akan berpengaruh pada PK yang akan diajukan.
"Ini harus segera didiskusikan terkait PK yang akan diajukan, karena ada sejarah grasi dibuat seperti itu. Maka diperlukan kearifan untuk menangani kasus ini," pungkas Kang Dedi Mulyadi.(mas/ysp)