Oleh Monica Priska Aprilia Winardi
Faktor psikologis merupakan salah satu pemicu penyimpangan perilaku sosial yang tidak dapat disepelekan. Pada banyak sumber dapat kita temukan bahwa banyak tindak kejahatan yang dilakukan karena gangguan psikologis, seperti pelaku kejahatan pembakaran, kleptomania, penguntit, hingga pembunuhan berantai dan tindak kekerasan ekstrem lainnya. Pelaku umumnya melakukan perilaku menyimpang ini secara berulang-ulang, semata-mata demi mencapai kepuasan tersendiri, dan dalam keadaan yang tidak “sadar” sepenuhnya. Dalam teori psikososial yang dipopulerkan oleh Erik Erikson, dikatakan bahwa manusia memiliki ego (yang juga dikenal sebagai ego kreatif) yang berperan dalam pemecahan-pemecahan kreatif atas masalah-masalah baru yang menimpa individu dalam setiap tahap kehidupan. Menurut Erikson, ego bersifat tak sadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman masa lalu dengan pengalaman sekarang, juga dengan diri di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, Erikson menemukan tiga aspek ego yang saling berhubungan, yaitu body ego yang mengacu pada pengalaman individu dengan tubuh/ fisiknya sendiri, ego ideal yang menjadi gambaran bagaimana seharusnya diri atau sesuatu secara ideal, dan ego identity yang merupakan gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial. Dalam pandangan Erikson, ego menjadi kekuatan pendorong positif dalam perkembangan dan kepribadian manusia, yang diklasifikasikan Erikson dalam 8 tahap perkembangan psikososial, mulai dari lahir sampai seorang individu meninggal.
Kepercayaan vs Ketidakpercayaan (Usia 0 – 1 tahun)
Merupakan tahap seorang bayi belajar untuk percaya pada orang lain, terutama orang yang merawatnya, seperti orang tua, pengasuh, dan orang-orang lain yang terlibat dalam pengasuhannya. Namun, bayi juga dapat memilih untuk sulit mempercayai orang baru.
Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu (Usia 1 – 3 tahun)
Tahap kedua ini merupakan tahap di mana Batita akan belajar untuk melakukan aktivitas secara mendiri (seperti toilet training, dan lain sebagainya) dengan percaya diri. Namun, saat ia dilarang melakukan sesuatu, ia justru akan tumbuh menjadi cenderung bergantung pada orang lain.
Inisiatif vs Rasa Bersalah (Usia 3 – 6 tahun)
Pada tahap ini, anak akan lebih fokus untuk melakukan sesuatu berdasarkan pemikirannya sendiri sebagai hasil dari interaksi sosial. Namun, apabila tidak diberi kesempatan berinteraksi, anak akan cenderung merasa bersalah dan ragu dengan kemampuannya.
Kompetensi vs Inferioritas (Usia 6 – 12 tahun)
Pada tahap ini, anak akan mulai belajar keterampilan khusus di sekolah, cenderung sadar dengan diri sebagai individu dan mulai membandingkan diri dengan orang lain, serta percaya diri dengan pencapaiannya. Namun, apabila orang tua dan guru terlalu sering membatasi, maka akan muncul rasa rendah diri (inferior).
Identitas vs Kebingungan Peran (Usia 12 – 18 tahun)
Pada tahap ini, individu yang mulai memasuki usia remaja akan mulai mencari identitas dan jati diri. Apabila gagal mencari jati diri, maka akan muncul krisis identitas di kemudian hari.
Keintiman vs Isolasi (Usia 18 – 30 tahun)
Konflik pada tahap ini akan berfokus pada hubungan intim dalam membentuk komitmen jangka panjang dengan pihak selain keluarga. Kegagalan pada tahap ini akan sering memicu rasa terisolasi dan depresi.
Generativitas vs Stagnasi (Usia 30 – 64 tahun)
Tahap ini berfokus pada kontribusi untuk masyarakat. Namun, apabila gagal, akan merasa stagnan dan tidak produktif.
Integritas Ego vs Keputusasaan (Usian 64 tahun ke atas)
Pada tahap akhir ini, lansia akan mulai merenungkan proses kehidupan yang sudah dijalani. Kepuasan akan kehidupannya akan membuat individu menghadapi masa tua dan kematian dengan rasa bangga, sedangkan rasa gagal akan menimbulkan penyesalan bahkan putus asa.
Menurut Erikson, perilaku kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya konflik internal individu, tekanan sosial dari kelompok, kurangnya dukungan sosial, dan masalah identitas diri. Erikson mempercayai tugas ego sebagai pembangun dan pemelihara rasa identitas. Orang-orang dengan ego yang kuat cenderung mengetahui posisi dirinya dalam kehidupan dan lingkungan sosial, serta memiliki tujuan yang bisa diterapkan untuk perkembangan dan pertumbuhan. Sebaliknya, mereka dengan ego yang lemah akan terjebak pada suatu krisis identitas yang menghambat tahapan-tahapan perkembangan individu, yang masih dapat dihadapi dengan manajemen ego yang baik.
Kedelapan tahapan perkembangan menurut Erikson menekankan bahwa individu cenderung meniru perilaku orang di sekitarnya, dan perilaku individu cenderung dipengaruhi oleh perilaku orang-orang di sekitarnya, terutama yang memiliki keterikatan emosional dengan individu tersebut. Oleh karena itu, interaksi sosial pun menjadi suatu hal yang penting.
Individu yang memiliki kesulitan dalam menyelesaikan konflik sosial cenderung lebih rentan menjadi pelaku kejahatan dan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi ketegangan dan mencapai tujuan mereka. Hal ini sejalan dengan kajian dalam psikologi forensik yang menemukan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan dan kejahatan ekstrem memiliki catatan konflik dengan orang terdekatnya, maupun jejak interaksi sosial yang tidak begitu baik dengan orang-orang di sekitarnya. Untuk itu, sebagai bentuk pencegahan terhadap perilaku kejahatan dan kekerasan, dukungan sosial yang kuat menjadi salah satu hal yang penting untuk diberikan, terutama kepada individu dengan catatan tindak kekerasan di masa lalu, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Pendampingan kerugian psikologis juga penting untuk diberikan agar individu tersebut dapat memiliki kepercayaan diri dan ego yang baik untuk kembali ke masyarakat dan lingkungan sosialnya. Sebab, banyak tindak kejahatan yang terjadi karena rasa rendah diri dan tidak maksimalnya perkembangan psikologis jugga interaksi sosial seseorang, sehingga sulit mensintesa body ego dengan ego ideal dan ego identity.(*)