Opini

Peran Pembelajaran Geografi dalam Menyikapi Fenomena Bediding

opini

Oleh:

 Yulia Enshanty, S.Pd

(Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi Pasca Sarjana Universitas Siliwangi, Guru Geografi di Kabupaten Sukabumi)

 

Di kala musim kemarau menyapa, tak jarang kita merasakan sensasi dingin yang menusuk di malam hari seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Fenomena ini dikenal dengan istilah bediding, sebuah fenomena alam yang umum terjadi di Indonesia, khususnya di awal musim kemarau. Istilah bediding berasal dari bahasa Jawa, yaitu bedhidhing yang berarti terasa dingin. Fenomena ini ditandai dengan suhu udara yang turun drastis pada malam hingga dini hari, dan terasa lebih panas di siang hari. 

Fenomena bediding dapat berdampak pada kesehatan, pertanian, dan pariwisata. Suhu dingin yang drastis selama bediding dapat memicu penyakit seperti batuk pilek, pneumonia, dan hipotermia, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan orang dengan kondisi kesehatan tertentu. Bediding dapat menyebabkan gagal panen pada tanaman yang sensitif terhadap suhu dingin, seperti padi, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Hal ini dapat berakibat pada kerugian ekonomi bagi para petani. Di beberapa daerah, bediding dapat menjadi daya tarik wisata, seperti yang terjadi di Kawasan Dieng, Jawa Tengah. Di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah, fenomena bediding menimbulkan dampak yang unik, yaitu munculnya embun es. Fenomena ini dikenal masyarakat setempat dengan sebutan "bun upas", ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang dating berkunjung. Namun, bediding juga dapat mengganggu aktivitas wisata jika suhunya terlalu dingin, seperti membatalkan penerbangan atau kegiatan wisata alam.

Mengingat adanya dampak negatif  yang ditimbulkan maka diperlukan pengetahuan untuk mempelajari fenomena tersebut. Salah satunya adalah dalam ilmu geografi.  Pembelajaran geografi dapat memainkan peran penting dalam membantu masyarakat memahami dan menyikapi fenomena ini dengan lebih baik. Pembelajaran geografi dapat membantu siswa memahami faktor-faktor yang menyebabkan , seperti minimnya tutupan awan, radiasi balik bumi, dan angin muson Australia. Pada musim kemarau, tutupan awan di langit umumnya sedikit atau bahkan tidak ada. Hal ini menyebabkan panas matahari yang disaerap bumi pada siang hari tidak tertahan oleh awan dan langsung dipancarkan kembali ke atmosfer pada malam hari. Proses radiasi balik bumi ini terjadi secara lebih cepat dan lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, sehingga menyebabkan suhu udara di permukaan bumi turun drastis pada malam hari.

Meskipun musim kemarau identik dengan udara yang kering, pada malam hari, kelembaban udara di daerah yang mengalami bediding justru tinggi. Hal ini disebabkan oleh proses kondensasi, yaitu perubahan uap air menjadi air cair. Uap air yang terkondensasi di udara melepaskan panas laten yang berkontribusi pada penurunan suhu udara. Semakin tinggi kelembaban udara, semakin banyak panas laten yang dilepaskan, sehingga suhu udara semakin rendah. Sementara itu, pada musim kemarau, angin muson Australia yang kering dan dingin bertiup ke Indonesia. Angin ini membawa massa udara dingin dari Australia, yang mempengaruhi suhu udara di wilayah Indonesia, terutama di dataran tinggi. Perpaduan antara tutupan awan yang minim, kelembaban udara yang tinggi, dan angin muson Australia yang dingin menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya bediding.Dengan memahami penyebabnya, masyarakat dapat lebih siap untuk mengantisipasi dan meminimalkan dampaknya.

Pembelajaran geografi dapat mendorong siswa untuk menemukan solusi kreatif dalam mengatasi fenomena ini. Misalnya, siswa dapat mempelajari cara melindungi diri dari udara dingin, seperti mengenakan pakaian hangat dan mengonsumsi makanan bergizi. Selain itu, mereka juga dapat mempelajari metode untuk mengurangi dampak bediding pada pertanian, seperti penggunaan pupuk organik dan pembangunan terowongan untuk melindungi tanaman. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, siswa dapat mengembangkan strategi yang inovatif untuk menghadapi tantangan lingkungan secara efektif dan berkelanjutan. Edukasi ini juga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap pelestarian alam dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya tindakan proaktif dalam menjaga ekosistem.

Pembelajaran geografi dapat membantu memberikan pemahaman kepada siswa  bahwa fenomena bediding dapat diperburuk oleh kerusakan lingkungan yang maarak terjadi saat ini, seperti deforestasi dan polusi udara. Dengan pemahaman ini, siswa dapat termotivasi untuk melindungi lingkungan dan berkontribusi dalam upaya pelestarian alam. Selain itu, mereka juga dapat belajar untuk menganalisis informasi, mencari solusi alternatif, dan membuat keputusan yang bijaksana dalam menghadapi tantangan lingkungan.

Fenomena bediding, meskipun membawa sensasi dingin yang menyegarkan di tengah musim kemarau yang terik, memiliki dampak negatif yang perlu diwaspadai. Pembelajaran geografi hadir sebagai solusi untuk membantu masyarakat memahami dan menyikapi fenomena ini dengan lebih baik. Melalui edukasi yang tepat, pembelajaran geografi dapat memberdayakan masyarakat untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Pengetahuan tentang penyebab dan mekanisme terjadinya bediding memungkinkan masyarakat untuk memprediksi kapan fenomena ini akan terjadi dan mempersiapkan diri untuk mampu beradaptasi dengan cara yang tepat.

Pemahaman mengenai kaitan antara bediding dan kerusakan lingkungan dapat memotivasi masyarakat untuk melestarikan alam. Dengan demikian, pembelajaran geografi dapat berperan dalam menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan, di mana manusia dapat hidup selaras dengan alam secara harmonis dan bertanggung jawab. Selain itu, pendidikan yang tepat dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang pentingnya tindakan nyata untuk mengurangi dampak negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan.

 

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua