Opini

Pojokan 213: Berani Gila

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Ini bukan soal gila penyakit jiwa. Bukan juga penyakit gila ke sembilan yaitu putusnya urat malu. Hingga segala dilabrak untuk memenuhi syahwat diri dan keluarga.

Gila yang ini perlu keberanian. Sebab kalau tak berani, tak akan menjadi gila. Dan tidak mungkin gila, kalau tidak berani. Konon memang, orang berani dan orang gila, beda tipis.

Karena gila, orang jadi berani. Gila jabatan, berani menyuap, menyikut segala, asal dapat jabatan. Kesurupan harta, berani korupsi.

Kesetanan syahwat, jadi lupa jabatan, yang di rumah, nasehat dan agama. Ambyar semua, demi syahwat, hajar saja jika ada kesempatan. Sebab sudah keranjingan, selingkuh.

Agar tak kesambet syahwat, sesiapapun yang telah berikat dan berpinak, bolehlah mendengarkan nasehat Bob Marley; “No Woman, No Cry”.

Mabuk kekuasaan, berani menindas dan menunjang hukum. Apapun dilakukan. Sebab superioritas yang menjadi tujuan.

Itu gila dan berani yang salah urus dan jalur.  Seperti tanaman yang tak disayangi, dikerubuti hama dan penyakit.

Ada model watak berani dan gila dalam versi lain. Berani untuk melawan korupsi, ketidakadilan dan kesewenangan.

Berani untuk mewujudkan dan berjuang untuk mimpi dan nilai yang diyakini. Ditambah gila dalam gagasan.

Sebab untuk melawan penyakit korupsi yang sudah karatan dan mandarahdaging, perlu kewiraan dan ide gila. Gagasan edan yang tetap rasional dan praktis.  

Cuma memang dua karakter ini -berani dan gila, tak akan pernah dipunyai, jika orang tersebut tak berintegritas.

Karakter berani dan mabuk versi ini, hanya dipunyai orang yang jujur. Dibumbui dengan tak punya kepentingan. Dihiasai dengan profesionalitas dan kompetensi. Tak lupa dikalungi komitmen dan konsistensi.

Watak berani melawan korupsi dan gila dalam prakarsa yang rasional dan praktis, biasanya dimiliki oleh model pemimpin tipe 4.0.

Soal pemimpin tipe 4.0 ini, mungkin diinspirasi dari Herman Kartajaya.

Ada tiga (3) tipikal pemimpin menurut Herman.  Tipe 1.0 itu punya watak mementingkan kesuksesan sendiri. Orientasinya adalah perintah, intruksi dan selalu harus dilayani.

Ini banyak terjadi pada masa feodal dan masih ada turunannya hingga sekarang. Sebab watak biasanya bisa diturunkan dan diwariskan.

Model tipe yang kedua adalah model 2.0. Protipe pemimpin 2.0 kata Herman Kartajaya, selalu ingin disukai karyawan, dan berusaha membahagiakan semua orang. Everybody happy, itu prinsipnya. Korupsi jamaah bisa terjadi. Semua dapat, semua senang.

Level pemimpin 3.0 biasanya memimpin dengan human spirit, jujur, amanah, bersih, integritas, pekerja keras, problem solver, fair kepada karyawan. Pokoknya model pemimpin idamanlah.

Nah, tipikal pemimpin 4.0 adalah perpaduan karakter model 3.0 ditambah watak berani dan gila.

Sebab budaya korupsi, sudah TSM, meminjam istilahnya Ibu Megawati Seokarnoputri, Sang Anggrek Besi. Terstuktur, sistematis dan massif. Sebab lainnya adalah, rakyat perlu gagasan-gagasan besar dan orisinil namun praktis, untuk melawan penyelewengan uang rakyat.

Tipikal pemimpin 4.0 adalah pemimpin yang berani gila. Berani melawan arus. Ngotot melawan korupsi yang sudah TSM. Gila dalam gagasan-gagasannya namun praktis dan logis.

Karena punya watak gila, biasanya pemimpin 4.0 kadang-kadang “Bonek”, bondo nekat. Perkasa melawan budaya kotor, koruptif, manipulative, mafia, bahaya, dan TSM.

Degil dan tangguh dalam berjuang untuk kebijakan yang pro rakyat. Garang dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.

Punya gagasan gila tuk mempromosikan kebijakan yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.

Konon, Ignasius Jonan dan Ahok-Basuki Thahaja Purnama, adalah salah satu model pemimpin yang berani dan eksentrik.

Biasanya orang yang berani dan gila model ini, orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. (Kang Marbawi, 040824)

 

 

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua