Opini

Pojokan 2016: Pancong vs Corndog

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Tak ada hubungan darah apalagi hubungan intim antara kue Pancong dengan Corndog. Walau kadang ada hubungan gelap antara Serabi dengan kue Pancong. Atau cinta segitiga diantara mereka dengan kue Pukis.  Perselingkuhan yang juga sering terjadi antara penguasa, politisi, oligarkhi pengusaha dan intelektual.

Tengok saja asal leluhur dua kue tersebut, jauh berbeda. Kue Pancong merupakan kudapan yang berasal dari Betawi. Terbuat dari dari tepung beras atau tepung ketan, garam, kelapa dan santan. Menciptakan rasa gurih pada pancong. Biasanya kue Pancong disajikan dengan taburan gula pasir dan lelehan gula merah sehingga memiliki rasa manis.

Sementara Corndog berasal dari negeri gingseng Korea Selatan. Corndog merupakan camilan yang dibuat dari adonan tepung dicampur ragi, kemudian diisi dengan sosis hingga potongan keju mozzarella sebelum dibalut dengan tepung panir dan digoreng hingga garing.

Mereka tak pernah bergaul akrab bahkan tak pernah hidup bersama di piring hidangan. Keduanya sama-sama memiliki penggemar sendiri. Walau diakui, kudapan Pancong masih kalah pamor dengan Corndog, BBQ, Kimchi hingga Bulbogi. Baik dari harga, kemasan dan tampilan. Kalau soal rasa, masih berani bersaing lah.

Soal kalah pamor ini, lebih karena Corndog sering diundang pembicara dalam industry film semisal drama Korea (Drakor). Menghiasi obrolan para pelakonnya dengan tampilan yang terlihat mewah. Model industry kreatif yang didesain sejak tahun 1980-an sebagai bagian dari Korean Wave.  Sesuatu yang lupa di bangun oleh kita, membangun peta jalan kebudayaan  melalui industry kreatif.

Sementara kue Pancong, sebagai makanan tradisional, nasibnya yang sulit masuk ke industry kreatif. Padahal tak kalah hebat soal rasa dan tampilan. Asal kreatif, kue Pancong dan sejenisnya bisa dikreasikan dengan berbagai topping seperti cokelat, keju hingga matcha.​ 

Maka kue Pancong paling bisa berpasangan dengan kue Pukis atau sekali-kali berselingkuh dengan Serabi. Khususnya soal topping untuk terlihat cantik di hidangan piring, ketika keriaan atau hajatan.

Masuk hotel saja, jarang sekali terjadi. Hanya hotel yang punya ideologi kuliner saja yang berani memasukan kudapan tradisional ke menu hidangannya.

Kesamaan dari semua kudapan itu, sama-sama jajanan kaki lima. Itu saja!

Nasib kue Pancong, Pukis, Serabi, Kerak Telor, Klepon, dan kuliner tradisional lainnya masih di bawah garis kemiskinan. Perlu mendapat bantuan dari Menteri yang menangani kebudayaan dan makanan.  Mungkin bisa masuk dalam program Badan Gizi yang baru dibentuk.

Bahkan jika perlu, mendapatkan perlakuan yang sama dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60 dan 70 tahun 2024 yang membuat  serangan jantung bagi penggede partai-partai besar. 

Karena sudah mengangkangi kemenangan koalisi dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).  Sehingga para anggota dewan yang ada di Senayan mencoba mempercepat Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada).

Walau akhirnya RUU tersebut ditunda karena didemo mahasiswa.

Nasib kue Pancong dan sebangsanya perlu mendapatkan advokasi seperti halnya putusan MK tersebut. Nasib dan masa depan mereka - kue Pancong, Klepon dan kuliner sebangsanya, perlu dientaskan ke tempat yang terhormat dan lepas dari kelas bawah.

Sebab mereka termasuk penduduk asli dari negeri kuliner bangsa sendiri yang perlu mendapatkan kemuliaan dan kedaulatan. 

Jangan sampai nasib kuliner bangsa sendiri tersungkur oleh jajahan kuliner bangsa lain. Setelah rasa malu kita tersungkur oleh korupsi dan godaan syahwat. Juga terpuruknya budaya sendiri yang tertunduk malu dengan budaya Korea. Setelah tahun 1980-1890an tersipu-sipu dengan budaya pop dari Barat.

Sebab mereka dilupakan dan terlupakan oleh para penguasa dan anggota dewan yang terhormat. Konon mereka sibuk mengadvokasi kelanggengan kekuasaan dengan menelikung konstitusi dan mengakali regulasi. 

Ada baiknya kita mengajukan RUU tentang perlindungan kuliner dan pengentasannya dari jurang kemiskinan.  Agar mereka menjadi penguasa kuliner di negerinya sendiri, hingga keturuannya nanti. Tapi bukan untuk kepentingan kue Pancong yang disorong jadi penguasa dari segala kuliner yang ada. (Kang Marbawi, 260824)

 

 

 

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua